![]()
Oleh: Marwan – Forum Pemerhati Lingkungan Garut

Garut, Medialibas. Com bukan lagi tanah kelahiran keindahan alam. Ia kini berubah menjadi panggung bencana: longsor yang merenggut nyawa, banjir yang menyeret rumah-rumah rakyat kecil, gunung yang dilukai, serta sungai yang menangis penuh limbah. Ekologi Garut—yang seharusnya menjadi anugerah—kini sedang sekarat.
Hutan Gundul: Luka Terbuka di Jantung Ekosistem
Deforestasi yang masif akibat pembukaan kebun, pembakaran lahan, hingga perambahan yang dibackingi kepentingan gelap, telah menghancurkan bentang alam Garut. Padahal, Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan larangan merusak kawasan hutan. Namun, penegakan hukum seolah memilih diam.
Ketika bukit-bukit menjadi botak, air hujan berubah menjadi hantaman maut. Tanah kehilangan penyangganya. Alam membalas. Longsor di puluhan titik terus terjadi—bukan fenomena alam semata, tapi kejahatan ekologis yang berulang.
Sungai Penuh Racun: Air Kehidupan Menjadi Air Kematian
Polusi air kian menggila. Limbah industri mengalir tanpa ampun ke sungai-sungai Garut. Masyarakat dipaksa minum air racun, bertani dengan air beracun, hidup dengan ancaman kanker yang tak kasat mata. Padahal UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas melarang pembuangan limbah berbahaya ke lingkungan hidup (Pasal 60).
Sayangnya, pemeriksaan dan penindakan? Hanya terdengar dalam pidato rapat.
Gunung Dirajam, Perut Bumi Dikeruk
Di banyak titik, tambang ilegal—dan bahkan yang berizin namun menyalahgunakan izin—mengeruk bebatuan tanpa memikirkan keselamatan warga. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba menegaskan bahwa setiap kegiatan pertambangan wajib memperhatikan kelestarian lingkungan dan keselamatan masyarakat (Pasal 96).
Tapi di Garut, hukum kalah oleh setoran.
Dan setiap tetes air hujan menjadi ancaman banjir bandang yang menyapu pemukiman rakyat kecil, mereka yang tak pernah menikmati keuntungan dari kekayaan alam yang dijarah.
Perubahan Iklim Menggila, Petani Menangis
Musim tak lagi bisa diprediksi. Hujan datang saat seharusnya kering. Kekeringan datang saat seharusnya panen. Petani terjebak dalam lingkaran gagal panen.
Mereka adalah korban dari kegagalan negara mengendalikan perusakan lingkungan, sebagaimana mandat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap warga berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
💥 Garut dalam Status Gawat Ekologis!
Jika kenyataan ini terus diabaikan, maka Garut akan:
Kehilangan keanekaragaman hayati selamanya
Menjadi zona merah bencana permanen
Mengalami kelaparan ekologis akibat gagalnya fungsi tanah dan air
Alam sudah menjerit.
Rakyat sudah berteriak.
Hanya pemerintah yang masih tuli.
📢 Seruan Keras!
Marwan menegaskan:
“Sudah cukup! Ekosida Garut harus dihentikan sekarang. Hukum bukan untuk dibacakan dalam upacara, tapi untuk ditegakkan! Siapapun yang merusak alam Garut harus diadili tanpa pandang bulu!”
Penegakan hukum, konservasi kawasan, penataan ulang izin usaha, serta edukasi masyarakat harus menjadi prioritas darurat, bukan sekadar proyek tahunan yang hanya menghasilkan spanduk tanpa aksi.
Karena jika Garut kehilangan ekologi, Garut kehilangan masa depan.
Dan ketika alam benar-benar murka, tidak ada satu pun manusia yang bisa melarikan diri.(die)
