
Garut,Medialibas.com – Bencana alam silih berganti menghantam berbagai wilayah di Indonesia. Banjir bandang, kekeringan ekstrem, tanah longsor, dan kebakaran hutan yang kian sering terjadi bukan lagi dianggap sebagai fenomena alam biasa. Banyak pihak kini menyebut, kerusakan lingkungan sudah memasuki fase kritis dan manusia menjadi pelaku utama dari kehancuran tersebut.
Berbagai aktivis lingkungan dan akademisi menyuarakan peringatan keras: dunia sedang mengalami ekosida sunyi, yakni kehancuran ekosistem yang dilakukan secara sistematis dan massif, namun berlangsung dalam senyap.
Ironisnya, kehancuran ini terjadi di tengah klaim pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang justru memicu kerusakan ekologis.
“Kita sedang menyaksikan upacara bunuh diri ekologis secara massal, dan pelakunya adalah kita sendiri,” kata seorang pegiat lingkungan yang menolak disebutkan namanya karena merasa diintimidasi oleh kebijakan pemerintah daerah.
Ia menggambarkan bagaimana hutan yang dahulu menjadi paru-paru bumi kini berubah menjadi konsesi sawit, pertambangan, dan properti. Sungai berubah menjadi saluran limbah industri, dan laut menjadi ladang plastik dan logam berat.
“Bayi lahir cacat di sekitar tambang. Petani kehilangan sumber air. Nelayan kehilangan laut. Satwa liar masuk ke permukiman, bukan karena lucu, tapi karena habitat mereka dihancurkan,” tambahnya.
Ayat Suci yang Terabaikan
Fenomena ini sesungguhnya telah lama diperingatkan dalam banyak ajaran agama, termasuk Islam. Dalam Al-Qur’an, disebutkan dengan tegas:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia…” QS. Ar-Rum (30): 41
Namun, ayat tersebut kerap hanya menjadi bacaan saat tadarus, bukan sebagai panduan tindakan. “Kita sudah sangat bebal. Hutan dibabat, udara diracuni, dan semuanya dibungkus dengan kata ‘pembangunan’,” ujar pegiat tersebut. Jum’at, (06/06/2025).
Ia juga menyoroti keterlibatan banyak pihak dalam kerusakan ini mulai dari pemilik tambang, mafia limbah, hingga pejabat yang meloloskan izin proyek perusak lingkungan. “Media bungkam, akademisi diam, ulama terlalu hati-hati. Yang bergerak hanya rakyat kecil, dan mereka justru jadi korban pertama.”
Rakyat Kecil, Korban Pertama
Di berbagai wilayah terdampak bencana, rakyat kecil merasakan dampak paling nyata. Di sekitar wilayah industri dan tambang, kasus gangguan kesehatan meningkat, akses air bersih menurun, dan ketahanan pangan terganggu.
“Air di sumur kami sekarang asin. Kebun-kebun kami tidak bisa panen karena cuaca tidak menentu,” keluh seorang petani dari Garut Selatan.
Menurut data WALHI dan Greenpeace, dalam dua dekade terakhir, lebih dari 50% kawasan hutan di Indonesia telah berubah fungsi. Di sisi lain, laju pertumbuhan industri ekstraktif justru terus meningkat, didorong oleh kebijakan ekonomi yang pro investasi, namun minim perlindungan ekologis.
Masih Adakah Harapan?
Sejumlah kalangan masih meyakini bahwa perubahan masih mungkin terjadi—asal disertai keberanian mengakui kesalahan kolektif dan membalik arah kebijakan pembangunan.
“Kita butuh revolusi cara berpikir. Bukan hanya soal teknologi hijau, tapi juga etika dalam memperlakukan bumi. Kita bukan pemilik bumi, kita hanya penumpang sementara,” ujar seorang aktivis muda lingkungan dari Bandung.
Ia menyerukan agar masyarakat kembali memaknai peran manusia sebagai penjaga bumi, bukan penguasa serakah. “Kalau tidak, satu hari nanti, kita tak lagi menanam padi. Kita akan menggali tanah demi sisa air bersih.”
Di lain sisi, ekosistem kini menjerit dalam sunyi. Bumi mengirimkan sinyal bahaya. Namun manusia tetap sibuk membangun gedung dan menghitung laba.
Sejarah, pada akhirnya, mungkin akan menulis satu kalimat tragis tentang generasi ini: “Mereka tahu sedang membunuh peradaban mereka sendiri dan mereka melakukannya dengan bangga.” (A1)