![]()
Ciamis,Medialibas.com – Gelombang kecaman dari komunitas pers di berbagai daerah kembali mencuat setelah beredarnya sebuah video dan rekaman percakapan yang menunjukkan seorang oknum kepala desa menantang jurnalis secara terbuka dalam sebuah kegiatan publik.
Diketahui dalam unggahan sebuah video amatir,bahwa insiden yang terjadi di salah satu Gelanggang Olahraga (GOR) Desa Sadananya, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat ini sontak menyedot perhatian setelah viral di berbagai grup WhatsApp wartawan se-Jawa Barat.
Dalam rekaman tersebut, terdengar jelas oknum aparatur desa itu, dengan lantang dan penuh emosi, mengeluarkan pernyataan intimidatif seperti,
“Wartawan jeng aing, tanggung jawab aing!”, serta “Aing moal mundur ku wartawan, diaduan ku aing!”.
Ucapan yang bersifat provokatif ini memicu kemarahan banyak pihak, terutama insan pers, karena dianggap sebagai ancaman langsung terhadap profesi jurnalis dan kebebasan pers yang telah diatur dalam undang-undang.
Identitas Oknum Terungkap: Mantan Wartawan yang Kini Jadi Kades
Hasil penelusuran dan informasi di lapangan menunjukkan bahwa oknum yang ada dalam video tersebut adalah Asep Ari, Kepala Desa Mekarmukti, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis. Fakta lain yang mengejutkan adalah bahwa Asep ternyata pernah berprofesi sebagai wartawan sebelum terjun ke dunia pemerintahan desa.
Keterlibatan Asep dalam dunia jurnalistik sebelumnya justru memunculkan tanda tanya besar. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana seseorang yang pernah menjadi bagian dari media dan memahami prinsip-prinsip kerja jurnalistik, bisa mengeluarkan ujaran yang merendahkan profesi wartawan dan bahkan menantang secara terbuka.
Pernyataan tersebut dinilai sebagai tindakan yang tak hanya mencoreng jabatannya sebagai kepala desa, tetapi juga melanggar etika pejabat publik yang seharusnya mengedepankan pelayanan, kesantunan, serta menghormati hak publik atas informasi.
Menguatnya Budaya “Anti Kritik” di Pemerintahan Desa
Insiden ini memunculkan kekhawatiran luas mengenai tren meningkatnya sikap anti-kritik dan anti-pengawasan di tingkat desa. Beberapa pemerhati pemerintahan desa menilai bahwa arogansi seperti ini adalah gejala dari rendahnya pemahaman pejabat lokal tentang keterbukaan informasi publik dan peran media sebagai pengawas jalannya pemerintahan.
Sikap menantang jurnalis dianggap berpotensi menghambat fungsi kontrol sosial yang selama ini dijalankan pers, dan dapat berimbas pada menurunnya kualitas demokrasi di tingkat akar rumput.
Selain itu, tindakan seperti ini dinilai dapat memberikan efek psikologis negatif kepada wartawan lainnya, yang mungkin merasa takut untuk melakukan peliputan atau mengkritisi kebijakan pemerintah desa demi menghindari intimidasi serupa.
Kecaman Keras dari Organisasi Pers
Sejumlah organisasi pers memberikan tanggapan keras terhadap tindakan Kepala Desa Mekarmukti tersebut.
Ketua DPC Forum Pimpinan Redaksi Nasional (FPRN) Jawa Barat, Sintaro, menegaskan bahwa ucapan intimidatif kepada wartawan tak boleh dianggap sebagai hal biasa.
“Ini bentuk pelecehan dan serangan terhadap kebebasan pers. Tidak boleh ada pejabat publik yang menggunakan kekuasaannya untuk mengintimidasi jurnalis. Aparat penegak hukum harus segera mengambil langkah,” tegas Sintaro (22/11/2025).
Tidak hanya itu, Ketua Asosiasi Jurnalis Nusantara Indonesia (AJNI) DPW Jawa Barat, Muhamad Wahidin, menyebut bahwa tindakan tersebut masuk kategori pelanggaran hukum berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Pasal 18 ayat (1) UU Pers dengan jelas mengatur ancaman pidana bagi siapa pun yang menghalangi kerja-kerja jurnalistik. Ini bukan sekadar emosi sesaat. Ini tindakan melawan hukum dan harus diproses,” ujarnya.
Dirinya bahkan mengingatkan bahwa membiarkan peristiwa seperti ini berlalu tanpa proses hukum dapat menciptakan preseden buruk di seluruh daerah.
Tuntutan Investigasi Mendalam oleh Aparat Penegak Hukum
Komunitas pers meminta Polres Ciamis untuk melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap kejadian tersebut. Desakan tersebut bukan hanya terkait ucapan bernada ancaman, tetapi juga dugaan bahwa kepala desa tersebut sedang berada dalam kondisi tidak wajar saat mengeluarkan pernyataan tersebut.
Beberapa saksi mata menilai gerak-gerik dan tampilan fisik Asep Ari menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mungkin berada di bawah pengaruh alkohol. Dugaan ini memperkuat alasan mengapa investigasi harus dilakukan secara transparan, termasuk pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang hadir di lokasi.
Publik juga menaruh perhatian pada kemungkinan adanya upaya menghalangi proses hukum dengan dalih klarifikasi, permintaan maaf, atau alasan “salah paham”. Sejumlah pihak mengingatkan bahwa:
“Tidak ada istilah: sudah viral jadi tidak diproses hukum.”
Klarifikasi tidak otomatis menggugurkan unsur pidana jika terdapat bukti pelanggaran.
Ancaman terhadap Demokrasi, Pers Sebagai Pilar Utama
Insiden ini menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa intimidasi terhadap jurnalis adalah bentuk ancaman terhadap demokrasi. Pers memegang peranan vital dalam memastikan pemerintahan tetap berjalan secara transparan, akuntabel, serta bebas dari praktik penyimpangan.
Ketika seorang pejabat publik merasa kebal kritik dan berani menantang jurnalis secara terbuka, hal itu menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola pemerintahan desa.
Aktor masyarakat sipil, tokoh pers, hingga akademisi menyerukan agar kasus ini tidak diredam dan diproses sesuai hukum yang berlaku, sebagai upaya menjaga marwah profesi jurnalis serta memastikan kebebasan pers tetap terlindungi.
Kasus ini diharapkan menjadi titik evaluasi bagi seluruh aparatur desa di Indonesia agar memahami bahwa media adalah mitra kerja, bukan musuh. Intimidasi terhadap jurnalis bukan hanya mencederai etika, tetapi juga melanggar hukum dan mengancam nilai-nilai demokrasi.
Komunitas pers menyuarakan satu tuntutan tegas: usut tuntas kasus ini, tegakkan hukum, dan hentikan praktik intimidasi terhadap jurnalis di tingkat desa. (A1)
