
Garut,Medialibas.com – Aktivitas penambangan ilegal atau galian C tanpa izin yang merusak kawasan lindung dan resapan air kembali menjadi sorotan publik di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Fenomena ini menuai keprihatinan mendalam dari para pegiat lingkungan, termasuk dari kalangan organisasi masyarakat sipil, karena dinilai telah mengabaikan aturan, mengancam keselamatan warga, dan memicu kerusakan ekologis yang serius.
Salah satu tokoh yang angkat bicara adalah Asep Jaelani alias Asep Rawing, aktivis lingkungan sekaligus penasihat LSM Laskar Indonesia Bersatu Anti Salah (LIBAS).
Dalam keterangannya kepada medialibas.com, Asep mengungkapkan bahwa praktik penambangan ilegal ini tidak hanya berlangsung secara terang-terangan, tetapi juga kian berani karena dibekingi oleh praktik premanisme yang mengintimidasi siapa pun yang menolak atau mencoba menghentikan aktivitas tersebut.
“Kami menyaksikan sendiri bagaimana galian C ilegal di beberapa titik di Garut dilakukan tanpa izin resmi, bahkan di kawasan lindung. Lebih memprihatinkan lagi, para pelaku lapangan sering memanfaatkan kekuatan informal, bahkan preman, untuk membungkam warga dan aktivis lingkungan yang kritis,” ujar Asep. Senin,(03/05/2025).
Legalitas Abu-Abu dan Pengawasan yang Lemah
Galian C merujuk pada kegiatan penggalian material alam seperti batuan, pasir, dan tanah yang seharusnya hanya dapat dilakukan dengan izin resmi dari pemerintah. Namun kenyataannya, di banyak titik di Garut, kegiatan ini berlangsung tanpa pengawasan, tanpa kajian lingkungan hidup, dan cenderung mengabaikan keselamatan warga sekitar.
Asep menjelaskan bahwa meskipun ada peraturan yang mengatur dengan ketat soal aktivitas pertambangan, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, implementasinya di lapangan nyaris tidak terlihat.
“Kami tidak melihat adanya pengawasan berarti dari Pemerintah Kabupaten Garut. Bahkan dari laporan yang masuk ke kami, ada indikasi kuat pembiaran terhadap aktivitas ilegal ini. Ini bukan hanya kelalaian administratif, ini bentuk nyata dari ketidakadilan lingkungan,” tambah Asep.
Kerusakan Lingkungan, Warga Jadi Korban
Akibat dari galian ilegal ini, berbagai dampak ekologis telah dirasakan langsung oleh masyarakat. Berkurangnya debit air bersih, meningkatnya risiko longsor, rusaknya lahan pertanian, hingga debu dan polusi udara yang mengganggu kesehatan warga, adalah bukti nyata yang sulit terbantahkan.
Salah seorang warga di kawasan Cilawu yang meminta namanya dirahasiakan, mengaku bahwa aktivitas tambang yang tak jauh dari permukiman mereka telah menyebabkan sumur warga mengering sejak awal tahun.
“Dulu air mengalir lancar. Sekarang, bahkan untuk mandi saja kami harus antre karena air makin sedikit. Belum lagi anak-anak sering batuk karena debunya,” ungkapnya.
Situasi ini diperparah dengan kehadiran oknum-oknum yang disebut-sebut sebagai “pengamanan lapangan” atau preman, yang menjaga lokasi tambang dan siap menghadang siapa pun yang mencoba memotret atau mengungkap aktivitas ilegal tersebut ke publik.
Desakan Evaluasi dan Penegakan Hukum
Melihat kondisi yang semakin tidak terkendali, LIBAS secara resmi menyerukan agar Pemkab Garut melakukan langkah cepat dan tegas. Mereka menuntut evaluasi menyeluruh terhadap semua izin galian C di wilayah Garut, serta penghentian total aktivitas tambang ilegal yang terbukti melanggar aturan.
Selain itu, LIBAS juga mendesak agar ada keterlibatan masyarakat dalam pengawasan, serta perlindungan hukum terhadap pelapor dan aktivis lingkungan yang rentan menjadi korban intimidasi atau kriminalisasi.
“Kalau negara terus membiarkan ini, maka sama saja kita menyerahkan lingkungan kita kepada kekuatan modal dan premanisme. Kami tidak ingin Garut menjadi kuburan ekologi di masa depan,” tegas Asep.
Respons Pemerintah Masih Minim
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Dinas Lingkungan Hidup maupun Dinas ESDM Kabupaten Garut terkait desakan dan laporan dari masyarakat sipil ini. Beberapa sumber di internal Pemkab yang dihubungi masih enggan memberikan tanggapan terbuka.
Namun sejumlah tokoh masyarakat berharap Pemkab Garut, bersama aparat kepolisian dan kejaksaan, dapat segera bertindak untuk menyelamatkan ekosistem dan melindungi hak-hak warga yang terancam akibat eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab.
Kasus galian C ilegal yang marak di Garut merupakan cermin dari buruknya tata kelola ruang dan penegakan hukum lingkungan di daerah. Jika dibiarkan terus berlarut, tidak hanya akan mengorbankan alam Garut, tetapi juga generasi mendatang yang akan menanggung akibatnya.
Sebagaimana disampaikan Asep Rawing, “Alam adalah warisan, bukan komoditas. Jangan sampai kita hanya bisa menyesal saat semuanya telah hancur.” (AA)