
GARUT,Medialibas.com — Dulu Garut dielu-elukan sebagai “kabupaten konservasi” karena letak geografisnya yang strategis, keragaman hayati, kawasan hutan lindung, dan peran vitalnya sebagai daerah tangkapan air bagi wilayah Priangan Timur. Namun kini, realitasnya begitu getir: konsep konservasi itu hanya tinggal nama, tenggelam dalam derasnya gelombang pembangunan tanpa arah dan pengawasan.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang seharusnya menjadi peta suci pembangunan, kini nasibnya lebih hina daripada tumpukan koran bekas. Dokumen itu hanya dibuka saat ada investor datang — bukan untuk menjaga keseimbangan ekologis, tapi untuk dijadikan “legalitas pelicin” proyek-proyek berdampak tinggi. (21/6/2025)
Pembangunan Brutal di Atas Luka Lingkungan
Proyek pembangunan di Garut hari ini berlangsung brutal. Wilayah-wilayah rawan seperti lereng pegunungan, kawasan sempadan sungai, hingga kaki gunung api aktif, mulai dijejali bangunan beton, perumahan, vila, bahkan pertambangan rakyat. Pemerataan ekonomi dijadikan alasan, padahal banyak pembangunan ini tidak berdasarkan studi daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Akibatnya? Kita sudah melihat jawabannya:
- Longsor di wilayah selatan dan barat Garut
- Banjir bandang musiman di perkampungan yang dulu tenang
- Kekeringan di lahan-lahan pertanian produktif
- Perubahan iklim mikro akibat pembukaan hutan
Semua ini adalah harga yang dibayar ketika tata ruang diabaikan dan kebijakan publik tidak lagi berpihak pada keseimbangan jangka panjang.
UU & PERDA Dilanggar Secara Terstruktur dan Sistematis
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
UU ini adalah pondasi hukum utama dalam penataan ruang. Tapi apa yang terjadi di Garut jelas merupakan pengingkaran terhadap sejumlah pasal penting, seperti:
- Pasal 3 huruf c: penataan ruang bertujuan menciptakan keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan.
- Pasal 7 ayat (2): pemerintah daerah wajib menyusun dan menetapkan RTRW kabupaten/kota dan mengintegrasikannya ke dalam kebijakan pembangunan daerah.
- Pasal 26 ayat (1): setiap pemanfaatan ruang wajib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Jika perda hanya digunakan sebagai legalitas formal dan pelanggaran tata ruang terus dibiarkan, maka pemerintah daerah secara langsung melanggar amanat konstitusi dan undang-undang nasional.
Perda Kabupaten Garut No. 29 Tahun 2011 direubah . Perda No. 6 Tahun 2019
Perda ini mengatur tata ruang Kabupaten Garut tahun 2010–2031, dengan semangat dasar konservasi wilayah. Namun dalam implementasinya, banyak hal yang justru berbanding terbalik:
- menekankan perlindungan kawasan lindung.
- menegaskan bahwa seluruh pembangunan fisik wajib mempertimbangkan aspek rawan bencana dan lingkungan.
- menyebutkan bahwa pemanfaatan ruang harus dilaksanakan sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang.
Namun hari ini, berapa banyak pembangunan yang dilakukan justru bertentangan dengan pola ruang yang telah ditetapkan? Berapa banyak alih fungsi lahan sawah dan hutan yang dibiarkan tanpa Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sahih?
Tanggung Jawab Pemerintah: Bukan Sekadar Mengatur, Tapi Mengawasi dan Menghukum
Menurut Pasal 63 ayat (1) dan (2) dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah daerah wajib:
- Memberikan edukasi dan pelatihan lingkungan kepada masyarakat.
- Membangun sistem informasi dan pengaduan publik yang transparan.
- Melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan.
Namun faktanya, pengawasan nyaris nihil. Fungsi legislatif (DPRD) yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif juga lebih banyak diam — seolah tak peduli, atau lebih buruk, telah menjadi bagian dari kompromi politik pembangunan kotor.
Teguran untuk Semua: Jangan Diam Ketika Alam Dikorbankan
Asep Yadi, Pengamat Lingkungan Hidup Garut, memperingatkan keras:
“Jika RTRW terus dijadikan syarat teknis tanpa semangat konservasi, maka Garut bukan hanya kehilangan jati dirinya sebagai kabupaten konservasi, tapi akan menjadi zona bencana permanen yang ditinggalkan generasi mendatang.”
Dan ia benar. Ketika masyarakat tidak diberi ruang untuk tahu, apalagi mengawasi — maka yang sedang dibangun hari ini bukan rumah atau jalan, tapi lubang-lubang kematian ekologis.
Masyarakat Sipil Harus Bangkit: Ini Bukan Sekadar Isu, Ini Soal Warisan Kehidupan
Kini saatnya masyarakat, akademisi, aktivis lingkungan, media, dan pelajar bersatu:
- Menuntut transparansi dalam seluruh proses perizinan.
- Memaksa revisi dan evaluasi berkala terhadap pelaksanaan RTRW.
- Menginisiasi gugatan hukum atas pembangunan ilegal.
- Menyuarakan kembali urgensi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai turunan RTRW yang lebih operasional.
Penutup: Konservasi atau Kehancuran, Pilihan Ada di Tangan Kita
Pembangunan memang penting, tapi pembangunan tanpa keseimbangan adalah bentuk perusakan terencana. Garut tidak butuh lebih banyak tembok dan aspal, tapi butuh tanah yang tetap subur, hutan yang tetap hijau, dan air yang tetap mengalir jernih.
Tata ruang yang dijalankan tanpa pengawasan bukan hanya pelanggaran administratif — itu adalah kejahatan moral terhadap generasi masa depan.
Jangan tunggu bencana berikutnya untuk sadar.
Jangan tunggu semuanya runtuh untuk berubah.
Garut harus diselamatkan — sebelum semuanya terlambat. (AA)