Oleh: Tedie Sutardy – Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS)

GARUT, Medialibas.com – Di balik hijaunya lereng Gunung Guntur, ada jeritan diam yang tak terdengar. Alam yang mestinya dilindungi kini dijarah. Kawasan yang semestinya suci, kini diperlakukan seperti ladang uang haram oleh tangan-tangan kotor yang memakai seragam, jabatan, dan dalih “pengembangan wisata”.
Gunung Guntur bukan gunung biasa. Ia adalah Cagar Alam, bukan tempat piknik liar, bukan taman bermain bagi pejabat tamak dan preman bertopeng pemandu wisata. Penetapan statusnya bukan untuk dicemooh, bukan pula untuk diakali demi parkir liar dan pungli yang kini tumbuh subur di tubuhnya. Tapi apa yang terjadi? Pengkhianatan terhadap hukum terjadi setiap hari, di depan mata, dan dibungkam oleh diamnya BKSDA Wilayah V dan lunaknya Pemkab Garut.
KEJAHATAN EKOLOGIS YANG DILEMBAGAKAN
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan dengan jelas: Setiap orang dilarang mengubah keaslian kawasan suaka alam. Tapi siapa yang menjalankan? Hari ini, aparat yang seharusnya melindungi malah berkawan dengan pelaku. BKSDA bukan lagi pengawas alam, tapi berubah jadi penonton sunyi dari kerusakan yang disengaja. Sementara Pemkab Garut seolah menjual legitimasi hukum demi secuil pendapatan sesat.
Aktivitas wisata liar, pembukaan jalur, penyewaan tenda, warung-warung tak berizin, hingga manipulasi branding media sosial — semuanya berjalan lancar tanpa izin resmi. Dan yang lebih mengerikan: tak ada satu pun pelaku yang dijerat hukum.
Maka pertanyaannya menjadi satu: hukum ini dibuat untuk siapa? Rakyat kecil atau hanya untuk pajangan seminar?
GUNUNG INI DITIKAM DARI BERBAGAI ARAH
Alih-alih menyegel jalur ilegal, aparat Pemkab justru memfasilitasi wisatawan untuk datang sebanyak-banyaknya. Setiap jejak sepatu yang diinjakkan di zona inti Cagar Alam tanpa izin adalah tusukan pada tubuh ekologis Guntur. Dan yang lebih menyakitkan: tusukan itu dilegalkan oleh mereka yang digaji dari uang rakyat.
Kita berhadapan dengan rezim yang munafik ekologis: di satu sisi berbicara konservasi di seminar, di sisi lain menutup mata terhadap pelanggaran nyata demi retribusi haram. Pemerintah Kabupaten Garut tidak hanya lalai, mereka berperan dalam perusakan ini. Dan diamnya BKSDA bukan keterbatasan anggaran, tapi bentuk pembiaran yang melahirkan legitimasi palsu.
RAKYAT SUDAH BERSUARA, TAPI SUARA ITU DIINJAK- INJAK
Sudah terlalu banyak laporan, dokumentasi, dan suara warga yang menolak wisata ilegal. Tapi jawaban dari otoritas selalu sama: “Kami akan evaluasi”, “Masih dalam kajian”, “Belum cukup bukti”. Bukti? Apakah bukti harus berupa mayat satwa langka atau longsor besar yang menelan desa?
Jika negara terus menutup mata, maka kami rakyat akan membuka telinga dunia. Pelanggaran hak atas lingkungan yang bersih dan sehat adalah pelanggaran HAM. Jika perlu, kami akan bawa ini ke Mahkamah Konstitusi dan pengadilan rakyat. Kami tidak akan diam sementara gunung kami dibunuh perlahan.
LIBAS MENUNTUT DENGAN TEGAS DAN TANPA AMNESTI
Kami, Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), menyatakan sikap tanpa kompromi:
- Segera copot dan adili pejabat BKSDA Wilayah V yang membiarkan pelanggaran ini terus berlangsung bertahun-tahun.
- Tutup semua aktivitas wisata, pungli, parkir liar, dan perambahan di Cagar Alam Gunung Guntur secara permanen dan tidak bersyarat.
- Periksa dan adili pejabat Pemkab Garut yang terlibat atau memfasilitasi kegiatan ilegal, termasuk dugaan korupsi retribusi liar.
- Kembalikan fungsi Cagar Alam Gunung Guntur sebagai kawasan steril dari komersialisasi, sesuai PP No. 28 Tahun 2011 dan UU No. 5 Tahun 1990.
- Mobilisasi dukungan nasional dan internasional untuk menyelamatkan Gunung Guntur dari kehancuran ekologis yang disengaja.
GUNUNG INI BISA MELETUS, TAPI SEBELUM ITU RAKYAT AKAN MELEDAK DAHULU
Gunung Guntur tidak hanya menyimpan lava di perutnya, tapi juga menyimpan amarah rakyat di setiap pohon yang ditebang, di setiap jalur yang dirusak, dan di setiap mata air yang mulai mengering. Jika negara terus bermain api, maka bencana ekologis adalah hukuman yang tak bisa ditawar.
Gunung ini tak bisa bicara. Tapi ia akan balas dendam.
Jangan tunggu air Cimanuk berubah merah. Jangan tunggu longsor menelan dusun. Jangan tunggu masyarakat angkat parang dan spanduk.
Hentikan penghianatan ini. Tegakkan hukum sekarang juga. Atau kami yang akan mengadili kalian di pengadilan sejarah.
“Tidak ada damai di tengah kemunafikan. Tidak ada hukum di tengah pembiaran.”
Gunung Guntur harus diselamatkan. Sekarang. Atau selamanya kita akan menyesal. (A1)