
Garut,Melialibas.com – Di tengah gembar-gembor demokrasi yang kerap digaungkan para pemegang kekuasaan, realitas di lapangan justru memperlihatkan arah yang berlawanan. Hak partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik, yang seharusnya dijamin undang-undang, kini kian tergerus oleh praktik-praktik eksklusif di lingkar kekuasaan.
Banyak kebijakan strategis lahir tanpa melibatkan warga secara bermakna. Forum konsultasi publik yang diadakan pemerintah seringkali hanya formalitas, dengan undangan terbatas, dokumen yang sulit diakses, dan waktu penyampaian pendapat yang minim. Aspirasi rakyat jarang diakomodasi, bahkan kritik kerap dipersepsikan sebagai ancaman.
Hak yang Dijamin Konstitusi
Berdasarkan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945, setiap warga negara berhak mengembangkan diri, berpartisipasi, serta memperoleh dan menyampaikan informasi.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga menegaskan kewajiban pemerintah menyediakan informasi yang relevan dan mudah diakses.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mewajibkan adanya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan.
Namun dalam praktiknya, hak-hak tersebut semakin sulit diwujudkan. Berbagai laporan dari organisasi masyarakat sipil menyebut, proses partisipasi publik sering dikendalikan sedemikian rupa sehingga hanya menjadi stempel legitimasi kebijakan yang sebenarnya telah diputuskan sebelumnya.
Kebisuan yang Sistematis
Sejumlah pengamat menilai, erosi partisipasi publik ini bukan sekadar kelalaian, melainkan pola sistematis. Pemerintah kerap mengaburkan informasi dengan bahasa teknis yang sulit dipahami masyarakat awam.
Sementara, adanya rancangan kebijakan dipublikasikan dalam waktu singkat sebelum disahkan, sehingga kesempatan memberi masukan nyaris tidak ada.
“Ini adalah bentuk pembungkaman yang halus. Tidak ada pelarangan secara terang-terangan, tapi ruang partisipasi dipersempit sedemikian rupa,” kata seorang aktivis demokrasi yang enggan disebutkan namanya saat diwawancarai Medialibas.com Senin,(11/08/2025).
Dampak bagi Demokrasi
Kebijakan publik yang disusun tanpa melibatkan rakyat berisiko tidak sesuai kebutuhan lapangan. Contoh paling nyata adalah beberapa program pembangunan infrastruktur yang mangkrak karena minimnya konsultasi dengan warga setempat. Selain pemborosan anggaran, hal ini memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
“Kebijakan tanpa partisipasi ibarat rumah tanpa pondasi rapuh dan mudah runtuh,” ujar pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia.
Tuntutan Masyarakat
Sejumlah kelompok masyarakat mendesak pemerintah membuka kembali ruang partisipasi yang transparan dan inklusif. Mereka mengajukan lima langkah utama:
Menjamin akses penuh terhadap dokumen kebijakan sejak tahap perencanaan.
Memperluas undangan konsultasi publik hingga ke tingkat akar rumput.
Menyediakan mekanisme masukan yang efektif, baik secara langsung maupun daring.
Memastikan masukan masyarakat tercatat dan menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan.
Menegakkan sanksi bagi pejabat yang menutup akses informasi publik.
Pesan Tegas untuk Penguasa
Bagi penguasa, mengabaikan partisipasi rakyat bukan sekadar pelanggaran prosedur, tetapi pengkhianatan terhadap amanat reformasi dan konstitusi. Demokrasi tanpa rakyat hanyalah panggung kosong yang diisi monolog kekuasaan.
“Jika pemerintah terus menutup telinga, rakyat akan mencari cara lain untuk bersuara, bahkan di luar mekanisme formal,” tegas salah satu perwakilan koalisi masyarakat sipil. (AA)