
Oplus_131072
(Oleh: Pemimpin redaksi Medialibas.com)
Garut Opini, Medialibas.com – Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Setiap 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar gagah, lagu kebangsaan berkumandang, dan rakyat tumpah ruah merayakan hari kemerdekaan. Namun, di balik gegap gempita upacara dan lomba tujuhbelasan, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata para pahlawan itu sudah benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia?
Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dari perjuangan panjang, dari semangat persatuan, keberanian, doa, dan pengorbanan.
Rengasdengklok, proklamasi, hingga revolusi mempertahankan kemerdekaan adalah bab-bab sejarah yang seharusnya bukan hanya dikenang, tapi juga dihidupi dalam kebijakan nyata hari ini.
Sayangnya, perjalanan bangsa pasca-kemerdekaan sering kali tersandera oleh tarik-menarik kepentingan politik. Dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, rakyat kecil sering kali menjadi korban. Reformasi yang diharapkan membawa kesejahteraan malah menghadirkan kompleksitas baru: liberalisasi ekonomi, pertarungan partai politik, serta pemilihan umum yang sering lebih menonjolkan citra ketimbang kerja nyata.
Padahal, Pembukaan UUD 1945 sudah jelas menegaskan amanat besar bangsa ini: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Amanat itu bukan jargon, melainkan janji sejarah yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari rakyat.
Kemerdekaan yang Menyentuh Kehidupan Nyata
Contoh sederhana datang dari Kota Makassar: program pembagian seragam sekolah gratis bagi siswa SD dan SMP. Sekilas, program ini tampak kecil, bahkan mungkin dianggap sepele oleh kalangan mampu. Tetapi bagi keluarga miskin, kebijakan itu adalah bentuk nyata kehadiran negara.
Bagi mereka, membeli seragam baru setiap tahun adalah beban. Dengan adanya seragam gratis, satu beban itu terangkat, anak-anak bisa bersekolah dengan lebih percaya diri, tanpa harus merasa minder karena baju usang atau berbeda dengan teman-temannya. Seragam itu bukan sekadar kain, melainkan simbol kesetaraan: bahwa semua anak bangsa punya hak yang sama untuk belajar.
Inilah wajah kemerdekaan yang sesungguhnya: ketika negara tidak hanya hadir di podium pidato pejabat, tetapi benar-benar menyentuh kehidupan rakyat sehari-hari.
Kritik: Mengapa Harus Menunggu Kebijakan Lokal?
Namun, dari sini pula muncul pertanyaan kritis. Mengapa program seperti ini baru hadir di beberapa daerah, bukan menjadi kebijakan nasional? Mengapa keberpihakan kepada rakyat kecil masih bersifat sporadis, bergantung pada visi kepala daerah tertentu?
Jika benar kemerdekaan adalah hak seluruh bangsa, bukankah sudah seharusnya pemerintah pusat membuat kebijakan sistematis agar seluruh anak Indonesia – dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote – mendapatkan fasilitas yang sama?
Di sinilah kita melihat bahwa kemerdekaan belum dijalankan secara utuh. Banyak kebijakan pro-rakyat hanya muncul menjelang pemilu sebagai alat pencitraan, bukan sebagai agenda jangka panjang untuk menyejahterakan rakyat.
Kemerdekaan Bukan Hanya Upacara
Perayaan HUT ke-80 RI seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Kita tidak bisa lagi hanya bangga dengan upacara meriah, pawai budaya, atau lomba penuh tawa. Semua itu penting, tapi substansi kemerdekaan jauh lebih besar: perut rakyat harus kenyang, pendidikan harus merata, kesehatan harus terjangkau, dan hukum harus adil.
Kemerdekaan akan terasa hampa jika masih ada rakyat yang kelaparan di pelosok negeri, jika masih ada anak bangsa yang putus sekolah karena biaya, atau jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Pesan untuk Pemimpin
Rakyat Indonesia menitipkan harapan besar kepada para pemimpinnya. Harapan bahwa setiap problem sosial, ekonomi, politik, dan hukum tidak hanya dibicarakan di ruang rapat, tetapi benar-benar dipecahkan demi kesejahteraan bersama.
Program seragam sekolah gratis hanyalah satu contoh kecil, tetapi ia memberi pelajaran penting: kebijakan sederhana bisa bermakna besar bila dilandasi niat tulus untuk berpihak kepada rakyat.
Jika pemerintah mau serius, masih banyak ruang untuk membuat kebijakan serupa dari subsidi pendidikan, kesehatan gratis, hingga program pangan murah yang benar-benar meringankan beban hidup rakyat kecil.
Kemerdekaan yang Belum Tuntas
Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya menjadi titik tolak untuk menegaskan kembali janji para pendiri bangsa. Kemerdekaan bukan sekadar soal lepas dari penjajahan fisik, melainkan membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan kesenjangan.
Selama rakyat masih merasa berat menanggung biaya hidup sehari-hari, selama kebijakan negara belum sepenuhnya berpihak pada mereka yang lemah, maka perjuangan kemerdekaan belumlah tuntas.
Dan setiap pemimpin bangsa harus mengingat: kemerdekaan akan diukur bukan dari panjangnya pidato 17 Agustus, melainkan dari senyum rakyat kecil yang merasakan kehadiran negara dalam kehidupannya.