![]()
Garut,Medialibas.com – Dari kejauhan, hamparan pegunungan di Kabupaten Garut tampak hijau dan menyejukkan mata. Namun, di balik panorama alam yang indah itu, tersimpan kenyataan yang kian mengkhawatirkan. Hutan-hutan yang dulu rimbun kini mulai gundul, tanah-tanah yang dulu subur berubah menjadi lahan sayuran yang terjal, dan aliran sungai yang dulu jernih kini semakin keruh akibat sedimentasi dan erosi.
Data dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perhutani Garut, Jawa Barat telah mencatat bahwa kawasan hutan lindung di wilayah ini mencapai 73.053,57 hektar dari total luas Kabupaten Garut yang 3.065,19 kilometer persegi. Secara fungsi ekologis, hutan-hutan ini seharusnya menjadi benteng penyangga kehidupan: menjaga tata air, mencegah banjir dan longsor, serta memastikan kesuburan tanah tetap terjaga. Namun, kondisi di lapangan jauh dari ideal.
Degradasi yang Tak Terbendung
Dalam dua dekade terakhir, tekanan terhadap hutan lindung meningkat tajam. Konversi lahan menjadi kebun sayur di kawasan dataran tinggi menjadi fenomena yang paling menonjol. Di daerah seperti Cikajang, Cisurupan, Cilawu, Samarang, dan Bayongbong, pemandangan ladang kentang, kol, dan wortel yang menggantikan tegakan hutan sudah menjadi hal biasa.
Di satu sisi, kegiatan pertanian sayur-mayur memang memberikan penghasilan bagi ribuan petani yang menggantungkan hidup di lereng-lereng pegunungan. Namun di sisi lain, dampaknya terhadap lingkungan sangat besar. Tanah menjadi terbuka tanpa penutup vegetasi permanen, sehingga air hujan tidak lagi terserap dengan baik.
“Begitu hujan deras turun, air langsung mengalir ke bawah membawa lumpur dan batu. Di musim kemarau, tanah retak dan tandus,” kata Ahmad (46), seorang warga di lereng Gunung Cikuray yang sudah 20 tahun bertani di kawasan yang dulunya hutan lindung.
Ahmad mengaku tahu bahwa lahan yang ia garap adalah kawasan lindung, tapi tekanan ekonomi membuatnya sulit berpaling. “Kalau tidak bertani, kami makan apa? Anak butuh sekolah, hidup makin susah. Pemerintah harusnya bantu dengan cara lain, bukan hanya melarang,” ujarnya dengan nada getir.
Fungsi Hidrologis yang Hilang
Kerusakan hutan di Garut bukan sekadar masalah tutupan vegetasi. Dampak yang lebih nyata adalah menurunnya kapasitas daya resap air dan meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi. Dalam beberapa tahun terakhir, Garut kerap dilanda banjir bandang dan longsor di berbagai titik seperti Sukaresmi, Tarogong Kaler, dan Cilawu.
Menurut catatan BPBD Kabupaten Garut, sedikitnya 34 kejadian longsor tercatat sepanjang tahun lalu, sebagian besar terjadi di wilayah dengan hutan lindung yang telah berubah fungsi menjadi lahan garapan.
Pakar lingkungan dari Universitas Garut, Dr. Ira Maryana, menilai situasi ini sebagai tanda bahaya yang serius.
“Degradasi hutan lindung bukan hanya soal kehilangan pohon, tapi kehilangan fungsi ekologis. Ketika fungsi itu lumpuh, yang terganggu bukan hanya alam, tetapi juga kehidupan sosial ekonomi masyarakat,” ujarnya kepada Medialibas.com. Rabu, (22/10/2025).
Dr. Ira menegaskan, lemahnya penegakan hukum dan tata ruang daerah menjadi akar persoalan utama. Banyak kawasan yang seharusnya dilindungi justru masuk ke dalam zona pertanian aktif.
Hukum dan Realitas yang Tak Sejalan
Sebenarnya, aturan mengenai perlindungan hutan sudah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebut bahwa hutan lindung memiliki fungsi pokok sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan.
Sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menegaskan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Namun, dalam praktiknya, penegakan aturan tersebut masih lemah. Pemerintah daerah sering kali terjebak dalam dilema: antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan kewajiban menjaga lingkungan.
“Kami memahami kebutuhan warga untuk bertani, tetapi kawasan lindung tetap harus dijaga. Masalahnya, belum ada solusi ekonomi alternatif yang benar-benar bisa menggantikan keuntungan dari pertanian sayur,” ujar salah seorang pejabat dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Wilayah Garut, yang enggan disebutkan namanya.
Ia menambahkan, upaya rehabilitasi memang sudah dilakukan melalui program penanaman kembali (reboisasi), namun tingkat keberhasilannya rendah karena lemahnya pemeliharaan dan pengawasan. Banyak bibit pohon yang ditanam tidak mampu bertahan di lahan terjal dan terbuka.
Ancaman Krisis Ekologis
Jika situasi ini terus dibiarkan, para ahli memperkirakan Garut bisa menghadapi krisis ekologis dalam satu dekade ke depan. Air tanah semakin menipis, sumber mata air banyak yang kering, dan pola hujan menjadi semakin tidak menentu.
“Dulu di kampung saya, mata air mengalir terus sepanjang tahun. Sekarang, di musim kemarau, air sudah habis. Kami harus menunggu giliran ambil air di malam hari,” tutur Rini (38), warga Kecamatan Cilawu.
Kondisi ini diperparah dengan praktik penebangan liar yang masih terjadi secara sporadis, meski kerap dibantah oleh pihak terkait. Kurangnya patroli, keterbatasan sumber daya manusia, dan minimnya kesadaran masyarakat menjadi kombinasi yang mematikan bagi kelestarian hutan Garut.
Mencari Jalan Tengah: Ekonomi Hijau dan Rehabilitasi Sosial
Berbagai kalangan menyerukan agar pemerintah tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga pada pembangunan ekonomi hijau berbasis masyarakat. Program seperti agroforestry, hutan rakyat produktif, dan wisata alam berkelanjutan dinilai bisa menjadi jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
“Kita tidak bisa menyalahkan petani sepenuhnya. Mereka adalah korban dari sistem ekonomi yang timpang. Solusinya harus sistemik berikan akses ekonomi yang ramah lingkungan, bukan sekadar larangan,” tegas Dr. Ira.
Sejumlah komunitas lokal juga mulai bergerak. Di kawasan Cisurupan dan Bayongbong, beberapa kelompok tani mencoba menanam kopi dan pohon keras di lahan miring sebagai bentuk adaptasi terhadap kebijakan rehabilitasi hutan.
Harapan yang Masih Tersisa
Meskipun situasi tampak suram, harapan belum sepenuhnya hilang. Masih ada kesadaran tumbuh di kalangan masyarakat untuk menjaga sisa-sisa hutan yang ada. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk menghentikan laju kerusakan sebelum terlambat.
“Hutan adalah ibu dari kehidupan. Jika ibu itu rusak, anak-anaknya akan kehilangan masa depan,” tutur Dr. Ira menutup perbincangan.
Kini, bola tanggung jawab ada di tangan semua pihak. Tanpa langkah nyata dan kebijakan tegas, hutan lindung Garut hanya akan tinggal nama di peta hijau di atas kertas, tapi gersang di kenyataan. (AA)
