“Negeri ini bukan kehabisan pemimpin. Negeri ini kelebihan tukang poles citra dan kurang orang jujur.”
Garut, medialibas.com, – Saya tak tahu mana yang lebih memalukan di republik ini: ijazah presiden yang terus-menerus jadi teka-teki hukum, atau kebisuan massal saat Raja Ampat—surga terakhir di timur Indonesia—dihancurkan atas nama investasi. Di pengadilan, lembaran ijazah diperiksa seolah-olah nasib bangsa bergantung padanya. Tapi di lapangan, ekskavator menggali dan menyayat bumi Papua tanpa ampun.
Kontras yang menyayat: di satu sisi birokrasi formal sibuk membela dokumen, di sisi lain lingkungan hidup dihancurkan atas nama pertumbuhan. Namun publik lebih ribut soal ijazah daripada hancurnya hutan tropis terakhir milik dunia. Logika dikalahkan fanatisme. Nalar dibungkam oleh cinta buta kepada kekuasaan. (6/6/2025)
IJAZAH ATAU ILUSI?
Presiden Joko Widodo, yang kini memasuki penghujung masa jabatannya, kembali dihadapkan pada gugatan keabsahan ijazah. Proses pengadilan berjalan. Tapi masalahnya bukan sekadar ijazah itu asli atau palsu. Masalahnya adalah respons publik yang menyedihkan:
“Sudahlah, yang penting beliau kerja bagus.”
Lucu. Kalau rakyat kecil memalsukan ijazah, bisa langsung dipecat atau dipenjara. Tapi kalau pemimpin tertinggi bangsa ditanya soal dokumen dasar, malah dibela habis-habisan. Moralitas publik telah dijual murah demi kenyamanan politik.
SAMBIL CUEK MASAK DAGING KURBAN
Sementara perdebatan soal ijazah mendidih, di sisi lain Indonesia Timur, Raja Ampat diam-diam dijual. Izin tambang dikucurkan oleh negara, seolah-olah alam Papua adalah halaman belakang yang bisa dibagi-bagi sesuka hati. Pemerintah yang dulu mengaku pro-lingkungan, kini malah jadi makelar tambang.
Dan publik? Terpecah. Aktivis diserang. LSM dicurigai. Rakyat? Sibuk masak daging kurban sambil pura-pura tak tahu bahwa tanah tempat berkurban pun tengah dirobek diam-diam. Bahkan keimanan kini tak lagi menyatu dengan kepedulian ekologis.
RAJA AMPAT: DIJUAL DENGAN IZIN RESMI
Laporan WALHI dan Greenpeace menyebut, selama satu dekade terakhir, lebih dari 200 izin tambang dan perkebunan diberikan di kawasan timur Indonesia. Narasi “hilirisasi” hanya jadi jubah untuk pembiaran eksploitasi besar-besaran.
Raja Ampat bukan milik negara. Ia adalah warisan dunia. Ia milik masyarakat adat Papua dan milik generasi masa depan. Tapi kini, pantai-pantai indahnya berubah jadi kawasan tambang, dan ikan-ikan langkanya hanya bisa dilihat dalam dokumenter. Apa yang tak bisa dijual, diabaikan. Apa yang bisa dijual, dijarah.
CEBOKER HEROIK: PAHLAWAN PALSUKA
Di dunia maya dan televisi, lahir sekelompok baru: Ceboker Heroik. Mereka tampil gagah membela kekuasaan, menyerang siapa saja yang mengkritik. Mereka tak peduli hutan terbakar, laut rusak, nelayan digusur. Yang penting “Pakde” mereka tetap terlihat bersih dan sederhana.
Mereka yang suka hadir di podcast dan forum diskusi, berbicara soal demokrasi, tapi tak pernah menyebut krisis lingkungan atau perampokan ruang hidup. Mereka bukan pemikir. Mereka hanya pelindung tahta. Pahlawan palsu dalam kostum intelektual.
MALAPETAKA INI BUKAN TAKDIR, TAPI PILIHAN
Mari kita hentikan narasi fatalistik. Ini bukan takdir. Ini hasil dari pembiaran sistemik. Kita memilih pemimpin berdasarkan pencitraan, bukan substansi. Kita menjadikan popularitas sebagai pengganti integritas. Dan hari ini, kita bayar mahal akibatnya.
Negara ini tidak kekurangan alam. Tapi kita kekurangan keberanian untuk berkata benar. Bahkan untuk urusan sekecil ijazah, kita takut menanyakan keaslian. Bagaimana bisa kita jaga hutan dan laut, kalau kertas pun tak bisa kita periksa dengan jujur?
KITA BUTUH PEMIMPIN YANG TAK TAKUT DIKOREKSI
Sistem demokrasi dibangun agar kekuasaan bisa diawasi. Tapi sekarang, kritik dianggap ancaman. Demonstrasi dicap makar. Dan penguasa dikelilingi pelindung-pelindung buzzer. Kita terjebak dalam ilusi stabilitas, sementara fondasi bangsa keropos oleh korupsi dan kebohongan.
Negara ini tak perlu pemimpin sempurna. Kita hanya perlu pemimpin yang tak alergi diperiksa, tak marah saat ditanya, dan tak bersembunyi di balik para penyembah kekuasaan.
APA YANG AKAN KITA WARISKAN?
Anak-anak kita tak akan peduli siapa presidennya sekarang. Tapi mereka akan peduli jika Raja Ampat sudah jadi pelabuhan tambang. Mereka akan menuntut jawab:
“Kenapa kalian diam saat alam kami dihancurkan?”
Dan barangkali kita hanya bisa menjawab:
“Maaf, waktu itu kami terlalu sibuk membela pemimpin yang bahkan tak berani tunjukkan ijazahnya.” (AA)