
Garut,Medialibas.com – Dalam situasi lingkungan yang kian kritis dan sarat ancaman ekologis, Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, angkat bicara dengan nada yang tidak biasa. Ia menyampaikan bahwa perawatan, kepedulian, dan pengawasan terhadap lingkungan hidup bukan sekadar ajakan moral, tapi sudah menjadi kewajiban hukum semua pihak: pemerintah, aparat, hingga masyarakat.
“Ini bukan soal pilihan. Ini soal tanggung jawab yang menyangkut keberlangsungan hidup kita semua. Jaga lingkungan itu wajib hukumnya! Kalau tidak, kita sedang menggali kuburan kita sendiri,” tegas Tedi dalam pernyataan resminya saat diwawancarai Medialibas.com di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kehati Eks Rumah Makan Copong Garut. Sabtu, (26/07/2025).
Krisis Ekologi di Garut: Sumber Air Mengering, Sampah Menumpuk,Pemerintah dan aparat Penegak Hukum Diduga Bungkam
Situasi di lapangan memang mengkhawatirkan. Banyak sumber mata air di Garut yang kini mulai kering, hutan lindung digerogoti, dan sungai berubah menjadi saluran limbah. Tapi ironisnya, perhatian dari pemangku kebijakan justru minim.
“Kita tidak kekurangan data. Kita kekurangan nyali dan komitmen dari pemerintah untuk bertindak,” kata Tedi dengan nada sinis.
Ia menyebut bahwa selama bertahun-tahun, kerusakan lingkungan di Garut terus meningkat, tapi respons pemerintah justru semakin melempem. Banyak program lingkungan yang hanya formalitas: rapat tanpa aksi, spanduk tanpa gerakan, dan anggaran tanpa hasil.
Pemerintah dan Aparat: Ada Saat Seremonial, Hilang Saat Tanggung Jawab Diuji
Tedi Sutardi menyoroti fenomena menjamurnya proyek lingkungan yang bersifat seremonial, seperti tanam pohon bersama yang hanya dilakukan setahun sekali. Padahal, setelah acara bubar, tak ada tindak lanjut, tak ada perawatan, dan tak ada evaluasi dampaknya.
“Yang ada hanya dokumentasi untuk laporan dan pencitraan pejabat. Pohonnya dibiarkan mati, lahannya kembali gundul. Apa ini yang disebut kepedulian?” serunya.
Tak hanya pemerintah, aparat penegak hukum juga disorot. Menurut Tedi, banyak pelanggaran lingkungan yang jelas-jelas terjadi di depan mata, tetapi dibiarkan begitu saja.
“Saat rakyat kecil buang sampah sembarangan, langsung ditindak. Tapi ketika pengusaha besar buang limbah ke sungai, aparat malah diam. Hukum lingkungan kita cacat keadilan,” tambahnya.
Masyarakat Dinilai Ikut Bersalah: Cuek, Konsumtif, dan Tidak Terlibat
Tak berhenti pada kritik ke atas, Tedi juga menyentil perilaku masyarakat yang dinilainya ikut andil dalam memperparah kerusakan lingkungan. Ia menyebut banyak warga yang masih malas memilah sampah, membakar limbah sembarangan, hingga membuang sampah ke sungai tanpa rasa bersalah.
“Kita ini terlalu banyak mengeluh saat bencana datang, tapi terlalu malas bertindak sebelum bencana terjadi. Kita menanam kerusakan, lalu panen musibah,” katanya dengan nada tajam.
Tedi juga menyesalkan minimnya pelibatan warga dalam urusan lingkungan. Menurutnya, edukasi lingkungan belum menjadi prioritas, baik di sekolah, di rumah, maupun di ruang-ruang publik.
LIBAS Tidak Akan Diam: Dari Monitoring Sub DAS, Aksi Tanam Pohon, Hingga Advokasi Hukum
Di tengah situasi yang nyaris tanpa harapan ini, LIBAS mengambil posisi sebagai garda sipil yang terus bergerak. Dari mulai aksi tanam pohon di bantaran sungai, pembersihan aliran air yang tersumbat sampah, hingga advokasi terhadap korporasi dan perorangan yang merusak lingkungan secara sistematis.
“Kami tidak sedang mencari panggung. Kami sedang menjaga kehidupan. Karena kalau tidak kita yang turun tangan, siapa lagi?” ujar Tedi dengan nada getir.
Ia juga menyatakan bahwa ke depan, LIBAS akan mendorong pelibatan warga desa, komunitas muda, pelajar, hingga tokoh agama, untuk menciptakan gerakan kolektif yang kuat, nyata, dan berkelanjutan.
Pesan Tajam untuk Pemimpin Daerah dan Aparat Penegak Hukum: Jangan Kampanye di Atas Tanah yang Gundul
Menutup keterangannya, Tedi mengingatkan kepada para pemimpin dan aparat penegak hukum agar tidak menjadikan isu lingkungan sebagai jargon kosong dalam kampanye politik. Ia meminta agar isu lingkungan ditempatkan sebagai prioritas utama dalam pembangunan daerah, bukan sebagai lampiran di akhir visi misi.
“Jangan datang ke kampung saat nyalon, bawa janji penghijauan, tapi pulang meninggalkan tanah yang lebih tandus dari sebelumnya. Kepemimpinan hari ini akan dinilai oleh sejarah lingkungan kita,” tutupnya. (A1)