
(Oleh: Pemimpin Redaksi Medialibas.com)
Garut Opini,Medialibas.com – Garut tempo dulu adalah lukisan alam yang sempurna. Hutan-hutan lebatnya menjulang bak benteng hijau di kaki Gunung Cikuray, Papandayan, dan Guntur. Sungai-sungainya mengalir jernih, membawa kehidupan bagi sawah dan kebun yang terbentang. Udara sejuknya menembus paru-paru, memberi kesehatan dan ketenangan bagi penduduknya.
“Garut adalah anugerah alam yang menjadi kebanggaan Priangan Timur bukan sekadar cerita, tetapi kenyataan yang pernah ada,”
Kini, saat kita mencoba menelusuri jejak itu, kenyataan yang terlihat justru membuat hati perih. Pemandangan asri yang dahulu jadi ciri khas telah sirna, digantikan lahan gundul, sungai keruh, udara panas, dan deretan berita bencana alam. Apa yang dulunya menjadi simbol kesejahteraan dan harmoni kini berubah menjadi potret luka bumi.
Sejarah Alam Garut – Harmoni yang Terjaga
Pada awal abad ke-19, ketika Kabupaten Garut resmi dibentuk, alamnya adalah modal terbesar masyarakat. Hutan menjadi sumber bahan baku rumah, obat-obatan, dan bahan kerajinan. Sungai dan mata air menopang pertanian serta peternakan. Gunung dan bukitnya melindungi dari badai dan banjir.
Sementara,masyarakat adat dan petani memahami bahwa alam bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dijaga keseimbangannya.
Ada kearifan lokal yang sederhana namun kuat: menebang pohon berarti menanam kembali, mengambil hasil hutan berarti membiarkan hutan tumbuh kembali. Prinsip ini membuat Garut mampu hidup makmur tanpa merusak sumber daya yang dimiliki.
Perubahan yang Menghancurkan
Sayangnya, prinsip itu mulai hilang ketika kepentingan ekonomi jangka pendek mengambil alih. Penebangan liar terjadi di banyak titik, sering kali melibatkan oknum yang memiliki kekuatan modal dan perlindungan politik. Lahan hutan dialihfungsikan menjadi perkebunan tanpa reboisasi, pemukiman, atau bahkan tambang yang menggerus lereng gunung.
Kerusakan ini bukan hasil dari “proses alamiah” atau “takdir”, melainkan akibat nyata dari keserakahan manusia. Lebih menyakitkan lagi, banyak di antara para pelaku yang lolos dari jerat hukum, entah karena kelengahan aparat atau karena sengaja dibiarkan.
Alam Menagih Balas
Kerusakan lingkungan selalu menagih hutang. Di Garut, kita membayar mahal. Longsor merenggut rumah dan nyawa, banjir bandang menghanyutkan sawah dan ternak, kekeringan membuat warga berebut air bersih. Dulu Garut menjadi daerah subur yang memberi makan wilayah sekitarnya, kini di beberapa kecamatan masyarakat harus bergantung pada pasokan air tangki saat kemarau.
Kita sedang menyaksikan kehancuran sistem penyangga kehidupan. Tanah kehilangan daya serap air karena hutan penyangga telah hilang. Sungai meluap lebih cepat karena tak ada lagi akar yang menahan air hujan. Dan setiap musim berganti, risiko bencana semakin besar.
Ironi di Tengah Krisis
Ironisnya, kerusakan ini kerap ditutupi dengan slogan hijau dan seremoni penanaman pohon yang lebih sibuk untuk dokumentasi daripada pemulihan nyata. Program penghijauan sering kali berakhir pada papan nama proyek, bukan hutan yang kembali hidup.
Lebih ironis lagi, sebagian pihak yang berteriak soal pelestarian lingkungan adalah pihak yang juga mengambil keuntungan dari eksploitasi alam. Di ruang rapat mereka membahas strategi penyelamatan lingkungan, namun di lapangan alat berat tetap bekerja meratakan bukit dan hutan.
Kembali ke Nilai Leluhur
Sejarah Garut mengajarkan bahwa kemakmuran sejati lahir dari keselarasan dengan alam. Nenek moyang kita mengerti bahwa hidup bukan sekadar mengejar keuntungan sesaat, melainkan menjaga kesinambungan. Alam memberi, tetapi alam juga menagih jika kita serakah.
Kini saatnya kita berhenti memperlakukan Garut hanya sebagai objek eksploitasi. Hutan bukan hanya kayu, gunung bukan hanya tambang, sungai bukan hanya saluran air. Semuanya adalah sistem yang saling terkait dan menjadi penopang kehidupan.
Seruan untuk Bangkit
Jika kita ingin Garut kembali menjadi “Swiss van Java” yang sebenarnya, bukan hanya slogan promosi wisata, kita harus mengambil langkah nyata:
Penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap perusak lingkungan, termasuk aktor besar yang selama ini kebal hukum.
Rehabilitasi hutan secara masif dengan melibatkan masyarakat lokal, bukan sekadar proyek musiman.
Edukasi lingkungan sejak dini di sekolah dan komunitas, agar generasi muda tumbuh dengan kesadaran menjaga alam.
Transparansi kebijakan tata ruang, agar masyarakat bisa mengawasi setiap izin alih fungsi lahan.
Menyusuri jejak sejarah Kabupaten Garut seharusnya membuat kita bangga, namun kenyataan hari ini membuat kita justru merasa malu. Kita mewarisi bumi yang indah dari leluhur, tetapi berpotensi mewariskan tanah gersang dan sungai mati kepada anak cucu.
Jika kita terus membiarkan ini terjadi, maka di masa depan Garut hanya akan menjadi nama dalam buku sejarah dikenang sebagai daerah yang membunuh dirinya sendiri. Dan jika itu terjadi, kita semua adalah pelakunya.