Oplus_131072
![]()
Garut,Medialibas.com – Memasuki musim penghujan, kekhawatiran mendalam disampaikan Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, terhadap kondisi lingkungan di Kabupaten Garut yang dinilai semakin mengkhawatirkan.
Menurutnya, kerusakan hutan dan perubahan fungsi kawasan telah mencapai tahap kritis dan dapat menjadi pemicu utama terjadinya bencana banjir dan longsor yang setiap tahun menghantui warga Garut.
Hutan Gundul dan Alih Fungsi Lahan
Dalam penuturannya, Tedi mengungkapkan bahwa sebagian besar kawasan hutan di Garut kini sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Banyak area yang dulunya menjadi hutan lindung, daerah resapan air, serta sabuk hijau penyangga kehidupan kini berubah menjadi lahan perkebunan, pertanian, bahkan permukiman warga.
“Dulu kawasan hutan di wilayah pegunungan Garut menjadi tempat penyangga air dan mencegah erosi. Tapi sekarang kondisinya sangat memprihatinkan. Banyak yang dibuka tanpa izin, dijadikan kebun, bahkan dijual. Akibatnya daya serap tanah berkurang, dan ini berbahaya saat hujan deras turun,” ungkap Tedi Sutardi dengan nada prihatin. Minggu, (02/11/2025).
Kerusakan itu, lanjutnya, tidak hanya terjadi di satu titik, melainkan merata di sejumlah kecamatan. Daerah seperti Cilawu, Banjarwangi, Pamulihan, Cikajang, Cisurupan, dan Talegong menjadi wilayah yang paling rentan karena topografi yang bergunung dan lereng curam.
“Begitu hujan datang, air tidak lagi terserap tapi langsung turun deras membawa material tanah dan batu. Di bawah, masyarakat jadi korban rumah rusak, jalan terputus, bahkan korban jiwa bisa terjadi,” tegas Tedi.
Alam Menagih Tanggung Jawab
Musim hujan yang datang setiap akhir tahun seolah menjadi pengingat keras bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Banjir bandang, longsor, hingga pergeseran tanah sudah bukan peristiwa langka di Garut. Setiap tahun, bencana serupa terus berulang seolah menjadi siklus yang tak pernah putus.
Tedi menilai kondisi ini bukan semata akibat curah hujan tinggi, melainkan akibat langsung dari rusaknya tata kelola lingkungan dan lemahnya pengawasan.
“Kita sering menyalahkan cuaca, padahal alam hanya bereaksi terhadap apa yang kita perbuat. Ketika hutan dirusak, air hujan tidak punya tempat untuk terserap. Maka ia mencari jalan sendiri, dan itulah yang menyebabkan banjir dan longsor,” tuturnya.
Pemerintah Diminta Tidak Tutup Mata
Sebagai pegiat lingkungan, Tedi mengingatkan bahwa peran pemerintah daerah sangat penting dalam mengendalikan kerusakan hutan dan memulihkan kawasan kritis. Ia berharap agar Pemkab Garut, dinas terkait, dan aparat penegak hukum tidak menutup mata terhadap praktik-praktik perusakan lingkungan yang dilakukan secara terang-terangan.
“Masih banyak kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan tanpa izin, bahkan di kawasan lindung. Pemerintah harus berani menindak, bukan hanya memberi peringatan. Kalau dibiarkan, kita sedang menggali kuburan sendiri,” ujarnya tegas.
Ia juga menilai program reboisasi dan konservasi yang selama ini dilakukan masih bersifat seremonial dan belum menyentuh akar masalah. Banyak kegiatan penghijauan yang tidak berkelanjutan karena tidak diawasi dan tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan secara aktif.
“Tanam pohon seribu batang itu bagus, tapi kalau setelah itu dibiarkan mati tanpa dirawat, sama saja bohong. Reboisasi harus dilakukan dengan perencanaan dan tanggung jawab,” katanya.
Peran Masyarakat Menjadi Kunci
Selain pemerintah, Tedi menilai kesadaran masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan alam. Ia mengajak seluruh lapisan warga untuk ikut serta dalam gerakan peduli lingkungan, dimulai dari hal-hal kecil seperti tidak menebang pohon sembarangan, menjaga sumber air, serta mengelola sampah dengan benar.
“Masyarakat harus merasa punya tanggung jawab moral. Jangan hanya berharap bantuan setelah bencana datang. Kalau lingkungan kita jaga bersama, bencana bisa diminimalisir,” ungkapnya.
LIBAS, kata Tedi, selama ini terus melakukan kegiatan sosial dan edukasi lingkungan, termasuk penanaman pohon di daerah rawan longsor dan kampanye penyadaran publik tentang pentingnya menjaga hutan sebagai penyangga kehidupan.
“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada sinergi antara pemerintah, aparat desa, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat. Alam ini milik bersama, jadi harus dijaga bersama,” ucapnya.
Ancaman Nyata di Depan Mata
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut menunjukkan, ada lebih dari 120 titik rawan bencana longsor dan 75 titik rawan banjir di berbagai kecamatan. Kerusakan hutan yang semakin meluas membuat risiko bencana meningkat hingga 40 persen dibanding tahun sebelumnya.
Beberapa daerah seperti Sukaresmi, Pakenjeng, Mekarmukti, dan Cibalong termasuk wilayah dengan tingkat kerawanan tertinggi. BPBD juga mencatat bahwa setiap tahun, ratusan kepala keluarga harus mengungsi akibat banjir dan longsor.
Menutup pernyataannya, Tedi Sutardi mengingatkan bahwa musim hujan bukan hanya tentang air yang turun dari langit, tetapi juga ujian terhadap kesadaran manusia dalam menjaga alam.
“Alam sudah memberi tanda. Sekarang tergantung kita, mau berubah atau terus membiarkan kerusakan ini berlangsung. Kalau tidak ada langkah nyata, jangan salahkan alam ketika bencana datang,” pungkasnya. (A1)
