
Bandung, Medialibas.com, Sebelum plastik menjadi raja di dunia modern, masyarakat Sunda—di kampung-kampung, di gunung, di lembah, di antara semilir angin dan teduhnya pepohonan—menjalani hidup dalam harmoni bersama alam. Makanan dan minuman tidak dibungkus dalam plastik atau dus kertas, tetapi dalam daun-daunan alami yang tumbuh dari tanah Nusantara ini sendiri.
Nasi timbel dibungkus daun pisang, kukuluban sampeu atau boled pun begitu. Di daerah Cirebon dan Majalengka, ada nasi jamblang yang dibungkus daun jati—wangi dan bersih. Peuyeum sampeu dibungkus daun waru, sementara peuyeum ketan memakai daun jambu air. Semuanya kembali ke bumi tanpa menimbulkan bencana. 27 july 2025
Bekas-bekas makanan itu dulu tidak menimbulkan masalah. Dibuang ke jarian (tempat sampah organik alami) atau ke kebun, mereka akan terurai menjadi tanah. Tapi sekarang, bungkus makanan berubah: plastik dan kertas dus menggantikan daun-daunan. Dan sayangnya, kebiasaan membuang bekas makanan ke alam masih sama seperti dulu, padahal bahan yang dibuang tidak bisa menyatu kembali dengan tanah.
Inilah pangkal dari gangguan keseimbangan lingkungan dan krisis ekologi yang makin nyata. Tanah tidak subur, air tidak mengalir, banjir datang silih berganti. Bukan hanya berdampak pada alam, tapi juga pada kesehatan dan kesejahteraan kita sendiri.
Sebagai warga Nusantara, sudah waktunya kita bertanya:
Bisakah kita kembali ke bahan alami seperti tradisi leluhur Sunda?
Kita tahu, ini tidak mudah. Menghidupkan kembali adat Sunda Sadu Santa Budi—adat yang mengajarkan kesederhanaan, keseimbangan, dan penghormatan terhadap alam—perlu perjuangan dan kesadaran kolektif.
Solusinya dimulai dari pendidikan. Para guru harus membimbing generasi muda untuk hidup dalam nilai Tata Titi Duduga Peryoga Pura Jatnika Lugina Paramarta—etika dan sopan santun dalam Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh, Silih Elingan. Nilai-nilai ini bukan sekadar pelajaran, tapi jalan hidup yang menyatu dengan bumi dan sesama.
Negara pun harus turut hadir. Sudah waktunya ada undang-undang yang mewajibkan penggunaan bahan alami untuk kemasan makanan dan minuman. Kita harus mendorong industri untuk kembali ke akar budaya, bukan sekadar mengejar laba.
Lihatlah masyarakat Baduy di Kasepuhan Kanekes. Sampai hari ini mereka masih menjalankan adat secara utuh—tanpa plastik, tanpa limbah modern. Tapi sayangnya, yang merusak keasrian kampung adat itu justru masyarakat urban dari kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, yang datang berpiknik tapi meninggalkan jejak sampah.
Namun, jangan buru-buru menyalahkan rakyat. Siapa yang menciptakan plastik? Siapa yang memproduksinya? Siapa pemilik pabriknya? Keuntungan besar memang mengalir ke kantong par pengusaha kapitalis, tapi rakyat hanya menjadi konsumen pasif. Apa kontribusi industri ini terhadap edukasi masyarakat? Terhadap keseimbangan ekologi?
Yang pasti, bukan rakyat kecil yang mendesain sistem ini. Tapi mereka yang paling menanggung akibatnya: tanah rusak, air tercemar, udara kotor, dan hidup yang makin berat.
Pun Tabe Rahayu, Wassalam.
Jaya Waluya Walagri Nugraha Mulya Sampurna Sapapanjangna… (AA)