Oleh: Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa ( LIBAS)

Garut, Medialibas.com. Kabupaten Garut kembali dipaksa menatap wajah muram: kemiskinan tidak pernah benar-benar turun, ia hanya berputar-putar di angka yang stagnan, menunggu satu krisis kecil untuk kembali melompat naik.
Data resmi BPS mencatat:
Tahun 2021, persentase penduduk miskin 10,65%.
Tahun 2022 turun ke 10,42%.
Tahun 2023 kembali 9,77%.
Tahun 2024 hanya sedikit menyentuh 9,68%.
Apakah itu tanda keberhasilan? Tidak! Itu hanyalah angka statistik yang dipoles agar tampak indah. Faktanya, garis kemiskinan naik dari Rp367.681 menjadi Rp393.464 per bulan per orang. Artinya, rakyat semakin sulit bertahan hidup, sementara pemerintah daerah bersembunyi di balik presentasi rapat dan laporan capaian semu.
Kalkulus Kehidupan yang Brutal
Mari kita hitung dengan logika kalkulus. Jika tren penurunan 2021–2024 diplot sebagai kurva:
Tahun 2021–2022 turun 0,23%.
Tahun 2022–2023 turun 0,65%.
Tahun 2023–2024? Hanya 0,09%.
Turun semakin lambat, hampir nol. Derivatif tren menunjukkan percepatan negatif semakin mengecil: garis menuju stagnasi. Artinya, dalam dua tahun ke depan Garut berpotensi kembali di atas 10% jika inflasi menggila, jika pertanian terpuruk, jika bencana ekologis menghantam.
Inilah bom waktu kemiskinan!
Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
Konstitusi jelas:
UUD 1945 Pasal 34 ayat (1): “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan: pelayanan dasar, termasuk pengentasan kemiskinan, adalah kewajiban mutlak daerah.
UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menekankan bahwa pembangunan tanpa ekologi adalah pengkhianatan.
Maka pemerintah daerah Garut tidak bisa lagi berlindung di balik alasan klasik: anggaran terbatas, pandemi, pusat lambat. Semua itu omong kosong! Kegagalan menurunkan kemiskinan adalah kegagalan moral, kegagalan hukum, dan bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Lingkungan: Jalan Keluar yang Diabaikan
LIBAS menegaskan: jalan keluar bukan sekadar bansos karitatif yang cepat habis, melainkan pemberdayaan berbasis lingkungan.
Pertanian Hijau & Agroforestry – petani harus dipersenjatai dengan ilmu pertanian organik, diversifikasi tanaman, konservasi tanah dan air. Hutan yang dirambah harus dipulihkan, lahan kritis ditanami pohon kehidupan.
Bank Sampah & Ekonomi Sirkular – masyarakat miskin diberdayakan untuk mengelola sampah, mendaur ulang plastik, mengubah limbah organik jadi pupuk kompos. Sampah menjadi rupiah, bukan kutukan.
Air Bersih & Infrastruktur Dasar – akses air, sanitasi, drainase, irigasi. Tanpa ini, penyakit dan gagal panen akan terus menggerus ekonomi rakyat.
Energi Terbarukan – program kompor hemat energi, listrik tenaga surya untuk desa miskin, agar pengeluaran rakyat berkurang dan lingkungan tidak terkoyak.
Pemerintah Harus Memilih: Berpihak atau Tumbang
Pemerintah daerah Garut hanya punya dua pilihan: berpihak pada rakyat miskin dengan membangun berbasis lingkungan, atau menunggu ledakan sosial ketika masyarakat tak lagi bisa menanggung lapar.
Jangan lupa, krisis lingkungan adalah krisis ekonomi. Banjir bandang, longsor, kekeringan – semuanya lahir dari pengabaian ekologi. Siapa yang paling duluan jadi korban? Masyarakat miskin!
LIBAS menegaskan:
Hentikan pencitraan! Rakyat butuh bukti, bukan grafis PowerPoint.
Tegakkan akuntabilitas! Publikasikan tiap rupiah anggaran kemiskinan.
Gerakkan rakyat! Jadikan mereka subjek, bukan objek.
Jika tidak, Garut akan menjadi laboratorium penderitaan: angka kemiskinan stagnan, lingkungan rusak, rakyat marah. Dan ketika rakyat marah, sejarah mencatat: tidak ada kekuasaan yang abadi. (Red)