
(Oleh: Diki Kusdian)
Garut Opini,Medialibas.com – Setiap manusia pasti pernah merasakan sakit hati. Ada yang ringan, ada yang dalam, ada pula yang meninggalkan bekas hingga bertahun-tahun. Sakit hati yang paling dalam biasanya datang dari orang-orang yang dulunya pernah dekat dan erat seperti: keluarga, sahabat, atau lingkungan yang kita percaya.
Sementara ketika luka itu terus-menerus ditorehkan tanpa penyembuhan, muncul dua pilihan ekstrem: membuka dendam lama atau pergi untuk selamanya.
Pertanyaannya, jalan mana yang benar-benar membawa kebebasan?
Di masyarakat kita, pilihan untuk bertahan dalam luka sering dipuja sebagai bentuk “kesabaran” atau “keteguhan hati”. Sebaliknya, berpisah atau melepaskan sering dicap pengecut. Lebih parah lagi, ketika seseorang memilih jalan keluar, masyarakat justru menilai bahwa ia menyimpan dendam. Padahal, tidak semua perpisahan lahir dari kebencian. Banyak di antaranya muncul karena keberanian untuk berkata: “Aku tidak bisa lagi menanggung rasa sakit ini.”
Luka yang Tak Pernah Dianggap Serius
Kebudayaan kita sering kali meremehkan rasa sakit batin. Ucapan seperti “ulah lemah, kudu kuat” (jangan lemah, harus kuat) seolah menjadi obat mujarab untuk segala masalah. Padahal, luka psikis tidak bisa sembuh hanya dengan kata-kata penyemangat. Ia butuh ruang aman, pengakuan, dan terkadang keputusan tegas untuk keluar dari situasi beracun.
Sayangnya, masyarakat cenderung menormalkan penderitaan. Perempuan yang terus disakiti pasangan dianggap “istri setia”. Anak yang dipaksa bertahan di lingkungan beracun dianggap “berbakti”. Pekerja yang diperas tenaganya disebut “pekerja keras”. Semua istilah itu indah di permukaan, tapi menyimpan luka mendalam di baliknya.
Dendam: Kebebasan yang Palsu
Dendam sering muncul ketika sakit hati sudah menumpuk dan tidak ada jalan keluar. Ia memberi ilusi kekuatan. Membalas sakit hati terasa seperti kemenangan sesaat, seolah-olah luka yang lama akan sembuh begitu saja.
Namun, para psikolog sepakat: dendam adalah penjara batin. Alih-alih menyembuhkan, dendam justru memperpanjang luka. Rasa puas yang muncul ketika berhasil melampiaskan dendam hanyalah sementara. Setelahnya, yang tertinggal adalah kekosongan, bahkan rasa bersalah baru.
Sederhananya, dendam bukanlah bentuk kebebasan. Ia hanyalah keterikatan baru pada orang yang menyakiti kita. Selama dendam masih ada, luka lama tetap hidup.
Pergi: Keberanian yang Sering Disalahpahami
Sebaliknya, pilihan untuk pergi meninggalkan hubungan, lingkungan, atau bahkan orang yang paling kita cintai sering dianggap sebagai kelemahan. Padahal, justru di situlah letak keberanian sejati.
Pergi bukan berarti menyerah. Pergi berarti melindungi diri dari kerusakan yang lebih dalam. Pergi adalah pernyataan bahwa kita masih menghargai hidup, masih peduli pada masa depan, dan masih ingin memberi ruang untuk diri sendiri tumbuh.
Masalahnya, stigma sosial di sekitar kita membuat banyak orang enggan mengambil keputusan ini. Takut dianggap gagal, takut dicap tidak berbakti, takut disebut egois. Padahal, siapa yang paling tahu kadar sakit yang kita rasakan selain diri kita sendiri?
Budaya “Ngabekeun”:
Menyembunyikan Luka, Membunuh Diri
Salah satu akar masalah di Indonesia adalah budaya ngabekeun,menutup rapat-rapat luka agar terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Kita diajari untuk tersenyum meski hati hancur, untuk bertahan meski sudah remuk, untuk diam meski disakiti.
Akibatnya, banyak orang tumbuh menjadi manusia yang hancur secara perlahan. Mereka menjadi cangkang kosong: hidup secara fisik, tapi mati secara batin. Lebih buruk lagi, luka yang tidak pernah diakui akhirnya diwariskan ke generasi berikutnya dalam bentuk pola asuh beracun, kekerasan, atau trauma yang berulang.
Menormalisasi Penderitaan: Kesalahan Kolektif
Kesalahan terbesar kita sebagai masyarakat adalah menormalisasi penderitaan. Kita memuja orang yang bertahan, bahkan ketika jelas-jelas hidupnya hancur. Kita memberi tepuk tangan pada “kesabaran” yang membunuh, tapi mencemooh orang yang memilih berpisah demi keselamatan dirinya.
Mengapa kita lebih menghargai korban yang terus bertahan daripada orang yang berani keluar dari lingkaran penderitaan?
Bukankah keberanian untuk pergi jauh lebih membutuhkan kekuatan mental?
Kebebasan yang Sejati
Kebebasan sejati tidak datang dari membalas dendam. Kebebasan sejati hadir ketika kita berani berkata: “Aku memilih diriku sendiri.”
Itu berarti berani memutus rantai penderitaan. Berani meninggalkan situasi yang menyakitkan, meski diiringi penghakiman sosial. Berani menolak untuk terus mengorbankan diri hanya demi menjaga citra orang lain.
Kebebasan sejati adalah ketika kita tidak lagi terikat pada rasa sakit, dendam, atau penilaian orang lain.
Saatnya Mengubah Paradigma
Ketika hati tersakit, membuka dendam lama memang tampak menggoda. Tapi jalan itu hanyalah lingkaran setan yang tidak akan pernah menyembuhkan. Jalan yang lebih berat, tapi jauh lebih bermartabat, adalah pergi untuk selamanya dari ruang yang melukai kita.
Masyarakat harus berhenti menormalisasi penderitaan. Kita perlu berani mendukung mereka yang memilih kebebasan, bukan malah menghakimi. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan tentang seberapa lama kita bisa bertahan dalam derita, melainkan seberapa berani kita jujur pada hati sendiri.