![]()
Oleh: Radhar Tribaskoro

Cimahi, Medialibas. Com, – Ada 711 makhluk hidup di Kebun Binatang Bandung yang hari ini berada di ujung tanduk. Mereka tidak mengerti apa itu sengketa aset, tidak paham apa itu banding perkara korupsi, dan tidak tahu apa arti inkracht. Yang mereka tahu hanya satu hal: lapar, sakit, dan menunggu.
Tragisnya, ancaman terhadap ratusan satwa itu bukan disebabkan bencana alam, wabah, atau perang. Ancaman itu lahir dari kelambanan negara dalam mengambil tanggung jawab. ( 17 Desember 2025)
Ketika Pemerintah Kota Bandung menutup operasional Kebun Binatang Bandung pada Agustus lalu, negara seolah berhenti pada satu tindakan administratif: menutup. Tetapi negara lupa pada kewajiban yang lebih mendasar: memastikan tidak ada satu pun nyawa yang terancam akibat kebijakan itu.
Penutupan dilakukan tanpa rencana darurat pakan.
Tanpa audit satwa.
Tanpa skema pengelolaan sementara.
Tanpa kejelasan siapa yang bertanggung jawab memberi makan, merawat, dan menyelamatkan satwa.
Akibatnya dapat ditebak: pemasukan berhenti, pakan menipis, perawatan terganggu. Dan 711 satwa kini menjadi korban dari konflik hukum manusia.
Lebih ironis lagi, semua pihak saling melepaskan tangan.
Pengelola mengatakan mereka tidak memiliki dana karena operasional ditutup. Pemerintah daerah beralasan perkara sedang berjalan di pengadilan. Aparat penegak hukum sibuk pada berkas dan prosedur. Sementara lembaga teknis konservasi tidak tampil sebagai komando darurat.
Di titik inilah negara kehilangan wajahnya.
Dalam hukum Indonesia, satwa bukan objek sengketa perdata. Satwa bukan aset korupsi. Satwa adalah makhluk hidup yang dilindungi undang-undang, dan negara adalah penanggung jawab terakhir atas kelangsungan hidupnya.
Menutup kebun binatang tanpa memastikan kesejahteraan satwa bukan sekadar kesalahan administratif. Ia adalah kelalaian negara.
Membiarkan satwa kelaparan karena menunggu putusan pengadilan adalah logika yang keliru dan tidak berperikemanusiaan. Pengadilan bisa menunggu. Banding bisa berjalan. Sengketa aset bisa diselesaikan. Tetapi nyawa tidak bisa ditunda.
Jika satu saja satwa mati akibat kelaparan, stres, atau ketiadaan perawatan, maka itu bukan kecelakaan. Itu adalah kegagalan negara menjalankan mandat konstitusionalnya untuk melindungi kehidupan.
Persoalan ini seharusnya sederhana: Negara wajib segera mengambil alih tanggung jawab kesejahteraan satwa, apa pun status sengketa hukumnya. Bukan besok. Bukan setelah inkracht. Sekarang.
Setelah itu, barulah negara berhak bicara tentang penertiban, pengelolaan ulang, dan perbaikan tata kelola. Tanpa itu, semua klaim moral dan hukum akan terdengar hampa di hadapan kandang-kandang yang sunyi dan perut-perut yang kosong.
Sejarah akan mencatat bukan siapa yang memenangkan sengketa, tetapi siapa yang membiarkan ratusan makhluk hidup mati dalam diam.
Dan pertanyaan yang akan terus menghantui kita sebagai bangsa adalah: apakah negara hadir untuk melindungi kehidupan, atau hanya piawai mengurus kertas dan kekuasaan? (Red)
, 17 Desember 2025
