
Oplus_131072
Garut,Medialibas.com – Dalam sejuknya udara pegunungan Garut, terselip satu cerita getir yang membuat hati miris: seorang ibu bernama Juju Juariah (50), warga Perumahan Jati Putra Asri Blok A2 Nomor 18,Desa Cibunar, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat terpaksa hidup di rumah yang nyaris ambruk.
Bukan karena ia malas bekerja atau tidak berusaha, melainkan karena negara melalui birokrasi di tingkat kabupaten memilih diam dan menyembunyikan tanggung jawabnya di balik aturan administratif.
Sementara Kepala Desa Cibunar, Iman Sukirman tak tinggal diam,dia telah sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Beberapa usaha dan upaya untuk mengajukan permohonan bantuan perbaikan rumah kepada BPBD Dinsos dan Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kabupaten Garut.
Namun sayang seribu kali sayang, segala perjuangan dan pengorbanan Kades Iman sebagai jawaban dari ketiga institusi itu sungguh mengejutkan dan sangat begitu menyakitkan, permohonan tersebut ditolak. Alasannya? Rumah itu berada di kawasan perumahan.
“Apakah lokasi rumah lebih penting dari keselamatan jiwa penghuninya?” ujar Iman, dengan nada getir, saat diwawancarai awak media melalui sambungan Whatsapp miliknya pada Selasa, (04/08/2025).
“Saya sudah berulang kali mengajukan permintaan bantuan, baik lisan maupun tertulis. Tapi jawabannya selalu sama: tidak bisa dibantu.”ungkap Kades Cibunar.
Bangunan Rapuh, Negara Lebih Rapuh
Rumah yang dihuni Juju Juariah bukan sekadar tidak layak huni ia berada di ambang kehancuran. Atapnya bocor di sana-sini. Kayu penyangga sudah keropos dimakan usia dan rayap. Tembok retak selebar telapak tangan. Lantainya lembap dan licin oleh rembesan air tanah.
Dan setiap malam, Juju tidur dengan rasa takut. Takut malam itu adalah malam terakhir dia hidup, tertimpa bangunan yang menjadi kuburannya sendiri.
“Kalau angin besar datang, rumah ini goyang. Saya bisa dengar suara ‘krek-krek’ dari atas. Tapi mau bagaimana, saya tidak punya uang. Kalau tidak tidur di sini, saya tidur di mana?” lirih Juju, dengan mata berkaca-kaca.
Ironis, di tengah berbagai program penanggulangan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah, ada seorang ibu yang hidup di tepi jurang kematian. Bukan karena bencana alam, melainkan karena kelambanan dan kebisuan sistem yang gagal membedakan antara aturan dan kemanusiaan.
BPBD Dinsos dan PERKIM: Birokrasi yang Tega
Penolakan dari BPBD Dinas Sosial dan Perkim didasarkan pada satu argumen klasik yang sering digunakan ketika negara ingin lepas tangan: “bukan kewenangan kami.” Karena rumah Juju berada di dalam kawasan yang secara administratif masuk kategori “perumahan”, maka ia dianggap tidak memenuhi syarat sebagai penerima bantuan.
Masalahnya, perumahan seperti apa yang dimaksud? Kawasan perumahan tempat rumah Juju berdiri bahkan tidak memiliki fasilitas dasar yang memadai. Tak ada saluran air yang layak. Tak ada pengelolaan sampah. Bahkan jalan di sekitarnya pun rusak.
“Kalau disebut perumahan, mana pengembangnya? Mana pengelolaannya? Ini bukan komplek elit. Ini kampung rakyat,” tegas Iman Sukirman.
Di sinilah kebutaan sistem terlihat nyata: rumah yang jelas-jelas mengancam nyawa dianggap tidak prioritas, hanya karena terganjal status administratif. Bukankah sudah seharusnya pemerintah menyesuaikan aturan dengan kenyataan, bukan sebaliknya?
BAZNAS, Lembaga Umat yang Tak Menyapa Umat?
Sorotan juga layak diarahkan pada BAZNAS Kabupaten Garut. Lembaga ini setiap tahun menerima miliaran rupiah dana zakat, infak, dan sedekah dari umat Islam Garut. Dana ini secara prinsip diperuntukkan bagi fakir miskin, termasuk mereka yang hidup di rumah tidak layak huni.
Namun hingga berita ini diturunkan, tak ada satu pun bentuk intervensi dari BAZNAS dalam kasus Juju Juariah.
“Saya tidak tahu harus minta ke mana lagi. Kalau pemerintah daerah tidak peduli, kalau lembaga zakat pun tidak hadir, lalu siapa lagi?” keluh Iman.
Publik pun mulai bertanya: kemana Dinas Sosial dan kemana sebenarnya dana BAZNAS digunakan? Di mana fungsi lembaga sosial ini saat rakyat kecil seperti Juju membutuhkan kehadirannya yang nyata, bukan hanya slogan-slogan manis di spanduk dan baliho?
Budaya Pemerintahan: Bergerak Setelah Ada Korban
Sejarah terlalu sering mengulang pola yang sama: pemerintah baru tergerak jika sudah ada korban. Rumah roboh, warga tertimbun, barulah ada respons. Seolah keselamatan rakyat harus dibayar dengan nyawa agar pemerintah terbangun dari tidurnya yang panjang.
Apakah kita harus menunggu Juju Juariah menjadi korban untuk mulai bertindak?
Jika jawabannya ya, maka itu adalah pengakuan paling telanjang bahwa sistem ini sudah tidak berpihak pada rakyat kecil.
Ketidakadilan yang Nyaring di Tengah Kesunyian
Kasus Juju Juariah bukan kasus tunggal. Ia adalah cerminan dari banyak warga miskin di pelosok Garut dan Indonesia yang terpinggirkan oleh kebijakan. Dianggap tidak penting karena tidak memiliki kekuatan politik. Diabaikan karena tidak bisa bersuara lantang. Dilupakan karena hidup di pinggir.
Mereka bukan sekadar statistik. Mereka manusia. Punya mimpi. Punya harapan. Dan yang lebih penting: mereka adalah warga negara yang berhak atas perlindungan, atas rasa aman, dan atas kehadiran negara saat mereka berada di titik paling rentan dalam hidupnya.
Akhir Kata: Siapa yang Akan Bicara Jika Pemerintah Memilih Bungkam?
Dalam negara yang sehat, suara rakyat kecil seharusnya adalah panggilan bagi para penguasa untuk turun tangan. Tapi ketika suara itu tidak didengar, saat pengaduan ditolak, dan saat nyawa dianggap kalah oleh label wilayah, maka jelas ada yang sangat salah dalam cara kita menjalankan pemerintahan.
Kini, publik menunggu. Apakah Pemerintah Kabupaten Garut, BPBD, Dinas Perkim, dan BAZNAS akan tetap nyaman dalam diam, atau bangkit menunjukkan bahwa mereka masih punya nurani?
Satu hal yang pasti: seorang ibu bernama Juju Juariah sedang menghitung hari, bukan menanti bantuan, tapi menanti keajaiban di tengah puing-puing rumah dan harapan yang makin rapuh. (A1)