
13 September 2025
Oleh: Marwan, Pemerhati Lingkungan dan Kebijakan Publik
Garut, Medialibas.com Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyimpan bentang alam yang seharusnya menjadi benteng ekologis bagi jutaan rakyat. Data resmi Perhutani KPH Garut mencatat bahwa luasan hutan yang mereka kelola mencapai 81.510,65 hektare, dengan rincian:
Hutan Lindung: 75.938,29 hektare (93,14% dari total)
Hutan Produksi Terbatas: 5.429,60 hektare (6,66% dari total)
Secara administratif, kawasan ini disebut sebagai “jantung ekologis” Garut, karena perannya melindungi tata air, mencegah longsor, dan menjaga keseimbangan lingkungan. Namun fakta di lapangan menunjukkan kenyataan pahit: hutan-hutan ini kini berada di titik kritis, nyaris rubuh di bawah keserakahan manusia dan kebijakan setengah hati pemerintah.
Fungsi Hutan: Dikhianati atas Nama Pembangunan
Hutan lindung seharusnya berfungsi sebagai penyangga ekologis, melindungi kehidupan masyarakat dari bencana. Sedangkan hutan produksi terbatas diperuntukkan bagi pemanfaatan hasil hutan dengan mekanisme terbatas, bukan eksploitasi brutal.
Namun, di Garut, fungsi ini terbalik. Lereng-lereng gunung dikoyak menjadi ladang kentang dan sayuran tanpa kontrol, kawasan konservasi dijadikan lahan garapan, dan izin-izin dikeluarkan tanpa pengawasan. Akibatnya: banjir bandang, tanah longsor, dan kerugian ekologis yang nilainya tak terbayar dengan uang sekalipun.
Dasar Hukum yang Nyata, Tapi Diabaikan
Indonesia bukan negara tanpa hukum. Pengelolaan hutan sudah diatur dalam berbagai regulasi, antara lain:
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 50 ayat (3): “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan hutan, seperti menebang pohon dalam kawasan hutan tanpa izin.”
Pasal 78: ancaman pidana bagi perusak hutan hingga 10 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Pasal 36: setiap kegiatan yang berdampak besar wajib memiliki izin lingkungan (AMDAL).
Pasal 109: pelanggaran izin lingkungan dapat dipidana 3 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.
Peraturan Daerah Kabupaten Garut No. 6 Tahun 2019 tentang Perubahan Perda No. 29 Tahun 2011 tentang RTRW 2011–2031
Menegaskan Garut sebagai kabupaten konservasi, yang berarti perlindungan kawasan hutan bukan pilihan, tetapi kewajiban.
Jika aturan ini ditegakkan, maka puluhan perusahaan nakal, pemodal rakus, hingga oknum pejabat yang membiarkan perambahan hutan seharusnya sudah mendekam di penjara. Tetapi realitanya, hukum hanya tajam ke rakyat kecil, tumpul pada pejabat dan korporasi.
Kondisi Nyata: Hutan Kritis, Rakyat Jadi Korban
Hutan Garut kini banyak berubah fungsi. Aktivitas pertanian intensif di lereng gunung memperparah kondisi. Akibatnya:
Longsor dan banjir bandang menjadi kejadian tahunan.
Kehilangan keanekaragaman hayati, satwa endemik tersingkir.
Krisis air bersih semakin parah di musim kemarau.
Rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari hutan justru menjadi pihak pertama yang menanggung derita.
Pemerintah sering berdalih dengan program penghijauan dan slogan konservasi. Namun, realitanya pohon ditanam seremonial untuk kamera, bukan untuk bumi.
Upaya Pelestarian: Solusi Ada, Tapi Setengah Hati
Solusi yang sudah banyak direkomendasikan, misalnya:
Agroforestry: memadukan tanaman hutan dengan komoditas bernilai ekonomi seperti kopi, aren, atau buah-buahan.
Rehabilitasi hutan dan lahan kritis berbasis masyarakat.
Penguatan sanksi hukum terhadap perusak hutan, baik individu maupun korporasi.
Audit izin lingkungan: mencabut izin-izin yang melanggar.
Sayangnya, solusi ini mandek di birokrasi dan korupsi. Para pemegang kebijakan lebih sibuk melindungi kursi daripada melindungi bumi.
Penutup: Hutan Garut di Tepi Jurang Kehancuran
Data luasan hutan Garut menunjukkan betapa pentingnya kawasan ini. Tetapi kerusakan yang terjadi adalah bukti pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan hukum negara.
Saya, Marwan, pemerhati lingkungan dan kebijakan publik, menegaskan: jika pemerintah daerah dan pusat terus menutup mata, maka kehancuran ekologis Garut bukan hanya ancaman, tapi keniscayaan.
Dan saat bencana besar meluluhlantakkan, jangan salahkan alam. Salahkan keserakahan dan kebijakan yang lebih berpihak pada uang daripada kehidupan. (Ted).