Oleh: Arul
Anggota Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS) Tarogong Kaler

Garut, medialibas.com. – Kabupaten Garut tengah menghadapi krisis ekologis yang tidak bisa lagi dianggap sebagai peristiwa alam biasa. Kerusakan lingkungan hidup terjadi secara sistematis dan masif, dari pencemaran sungai, konversi kawasan lindung, hingga alih fungsi hutan yang tidak terkendali. Sebagai bagian dari Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa LIBAS, saya menyaksikan langsung dampak dari pembiaran dan lemahnya pengawasan. Ini bukan sekadar isu lingkungan, ini kejahatan terhadap generasi mendatang! (5/6/2025)
Kalkulasi Kerusakan: Fakta Tak Terbantahkan
Temuan kami:
9 kecamatan mengalami pencemaran sungai dan degradasi tanah secara simultan.
Sekitar 70% dari 700 ton sampah harian Garut tidak ditangani secara resmi dan terakumulasi di lahan dan aliran sungai.
Proyeksi kami dengan model kalkulus dan simulasi regresi menunjukkan bahwa Garut akan kehilangan ±35% kawasan hutan lindung dalam 10 tahun jika pola saat ini terus berlanjut, terutama di Kadungora, Cisurupan, dan Cilawu.
Dengan model matematis:
A(t) = A_0 \cdot e^{-0.12t}
Landasan Hukum: UU 32/2009 dan Perda No. 6 Tahun 2019
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 53: Wajib melakukan pemulihan dan penanggulangan pencemaran.
Pasal 69 angka (1): Melarang aktivitas yang merusak lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak.
Perda No. 6 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perda No. 29 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Garut
Perda ini merupakan bentuk update kebijakan ruang yang seharusnya menyesuaikan kondisi terkini dan dinamika pembangunan. Namun faktanya:
Kawasan lindung yang sudah direvisi tetap saja dijadikan sasaran alih fungsi lahan.
Pengembangan kawasan industri dan pemukiman baru tidak diiringi dengan kajian daya dukung ekologis.
Penyesuaian struktur ruang dan pola ruang hanya formalitas, sementara di lapangan, kerusakan terus terjadi.
Perda ini seharusnya menjadi pedoman pengendalian pembangunan agar tidak keluar jalur ekologis. Tapi apa jadinya jika malah dijadikan pembenaran untuk melegalkan praktik destruktif?
Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas?
Di Leles dan Bayongbong, warga kecil yang membakar sampah bisa dikenai sanksi. Tapi ketika korporasi membuang limbah ke sungai, hanya ditegur secara administratif. Dimana keadilan? Kalau hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, maka jangan sebut itu hukum. Itu alat penindas!
Maping kawasan kritis dengan drone komunitas,
Edukasi kalkulasi ekologis di madrasah dan SMK: mengajarkan siswa menghitung dampak rumah tangga terhadap lingkungan.
Kami percaya bahwa perubahan dimulai dari bawah, tapi kami juga tahu bahwa tanpa keberanian pemerintah, semua upaya masyarakat akan seperti menyiram api dengan air garam.
Seruan Kami: Revisi Tanpa Aksi Adalah Penghianatan
Perda bisa diubah, UU bisa ditafsirkan ulang, tapi kerusakan yang terjadi di bumi Garut hari ini tidak akan bisa dibalik. Pemerintah harus berani menindak pelaku perusak lingkungan—baik itu oknum warga, aparat, maupun korporasi.
Karena hukum lingkungan bukan sekadar pasal. Ia adalah garis batas antara peradaban dan kehancuran.
“Jika hukum diam saat lingkungan dirusak, maka itu bukan lagi hukum, melainkan konspirasi.” Arul, LIBAS Tarogong Kaler (AA)