
Oleh: Ikin Sodik
Garut Artikel,Medialibas.com – Kawasan Cipanas Garut adalah salah satu ikon wisata yang membanggakan masyarakat. Air panasnya yang alami, dikelilingi hotel, villa, hingga pusat kuliner, menjadi daya tarik yang tidak terbantahkan. Namun, di balik wajah wisata yang gemerlap itu, terdapat kenyataan pahit yang dialami rakyat: krisis air bersih yang semakin hari kian mengkhawatirkan.
Air yang dulunya berlimpah, kini semakin sulit didapatkan. Warga di sekitar kawasan Cipanas mengeluhkan berkurangnya pasokan air untuk kebutuhan sehari-hari. Apa yang seharusnya menjadi hak dasar kini berubah menjadi masalah serius. Dan sayangnya, semua ini bukan sekadar musibah alam, melainkan akibat dari kelalaian tata kelola ruang yang seharusnya dikendalikan oleh pemerintah daerah.
Tata Ruang yang Mengabaikan Rakyat
Penataan ruang adalah kunci keberlanjutan sebuah wilayah. Jika dilakukan dengan benar, tata ruang bisa menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Namun, kasus Cipanas menunjukkan hal sebaliknya.
Alih-alih berfungsi sebagai pedoman, rencana tata ruang justru sering dipinggirkan demi kepentingan jangka pendek. Investasi dikejar tanpa memikirkan daya dukung lingkungan. Hotel dan bangunan baru terus bermunculan, sementara masyarakat sekitar kehilangan haknya atas air.
Di sini letak persoalan mendasarnya: ketika tata ruang diabaikan, rakyatlah yang pertama kali menjadi korban.
Pemerintah Daerah Harus Bertanggung Jawab
Pemerintah Kabupaten Garut tidak bisa berkilah. Mereka memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi dan mengendalikan pemanfaatan ruang. Jika krisis air terjadi, maka jelas ada kelalaian yang harus dipertanggungjawabkan.
Saya menilai pemerintah terlalu longgar dalam memberikan izin pemanfaatan ruang di Cipanas. Tidak sedikit bangunan yang berdiri justru mempersempit ruang resapan air. Padahal, resapan air adalah jantung dari siklus ketersediaan air bersih.
Lebih ironis lagi, pemerintah cenderung diam ketika dampak nyata sudah dirasakan masyarakat. Padahal, regulasi sudah dengan jelas memberikan jalan keluar.
Regulasi Sudah Tegas
Mari kita lihat aturan yang berlaku. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang kemudian diperbarui melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dengan jelas menyebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang dapat dicabut jika terbukti tidak sesuai lagi dengan rencana tata ruang.
Bahkan, aturan tersebut memberi ruang agar pemegang izin mendapatkan ganti rugi apabila izinnya dicabut. Artinya, mekanisme hukum sudah sangat jelas dan adil. Maka, jika pemerintah daerah tidak berani menegakkan aturan ini, bisa dikatakan mereka telah menutup mata terhadap penderitaan rakyat.
Krisis Air dan Kerugian Negara
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa persoalan Cipanas hanya sebatas keluhan warga. Padahal, jika ditelaah lebih jauh, krisis air juga menimbulkan kerugian negara.
Kerugian itu tidak selalu berupa angka yang langsung tercatat, tetapi melalui dampak berantai:
Produktivitas masyarakat yang menurun karena kesulitan air.
Biaya tambahan yang harus dikeluarkan warga untuk membeli air.
Menurunnya kualitas kesehatan akibat keterbatasan air bersih.
Kerusakan lingkungan yang suatu saat membutuhkan dana besar untuk pemulihan.
Jika semua ini dihitung, nilainya bisa sangat besar. Jadi, membiarkan masalah tata ruang di Cipanas sama saja dengan membiarkan uang negara menguap sia-sia.
Mendesak Pencabutan Izin
Saya menegaskan, pencabutan izin pemanfaatan ruang di Cipanas yang bermasalah adalah langkah mutlak. Tidak ada alasan untuk menunda, sebab semakin lama dibiarkan, kerusakan akan semakin meluas.
Pencabutan izin bukan hanya bentuk penegakan hukum, melainkan juga pesan moral bahwa pemerintah berdiri di sisi rakyat, bukan di sisi investor semata. Jika ini dilakukan, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bisa kembali tumbuh. Sebaliknya, jika terus dibiarkan, rakyat akan semakin apatis, bahkan bisa kehilangan rasa percaya kepada pemimpinnya.
Air adalah Hak, Bukan Barang Dagangan
Saya ingin menegaskan satu hal yang mendasar:
Air adalah hak hidup, bukan barang dagangan. Air adalah hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.
Tidak ada pembangunan, investasi, atau kepentingan ekonomi apa pun yang boleh mengorbankan hak rakyat atas air.
Masyarakat Garut berhak mendapatkan air bersih. Mereka tidak boleh dibiarkan membeli sesuatu yang seharusnya bisa diakses secara gratis dan alami. Jika kondisi ini terus terjadi, maka kita sedang berjalan ke arah yang salah dalam membangun daerah.
Saatnya Garut Berbenah
Kasus Cipanas adalah alarm keras bagi kita semua. Jika hari ini kita tidak berani mengambil langkah tegas, besok masalah yang lebih besar bisa menghantui wilayah lain di Garut.
Pemerintah Kabupaten Garut harus segera mengevaluasi seluruh izin pemanfaatan ruang di kawasan Cipanas. Izin yang bermasalah harus dicabut. Pengawasan harus diperketat. Dan yang terpenting, kepentingan rakyat harus ditempatkan di atas kepentingan bisnis. Air adalah sumber kehidupan. Menyelamatkan Cipanas berarti menyelamatkan rakyat Garut. Dan itu hanya bisa terjadi jika pemerintah berani bertindak, bukan sekadar berbicara.