
Garut,Medialibas.com – Kabupaten Garut, Jawa Barat saat ini kembali diguncang kabar memilukan. Ada salah seorang perempuan penyandang disabilitas tuna rungu dan tuna wicara bernama Ibu Neni, warga Kampung Cangkuang RT 04 RW 04, Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, menjadi korban kekerasan seksual yang membuatnya harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Sementara kasus ini menambah panjang daftar kekerasan seksual di Garut, sekaligus membuka mata publik betapa rapuhnya perlindungan terhadap kelompok rentan.
Kondisi Neni jauh dari kata layak. Ia belum pernah menikah, hidup bersama ayahnya yang sudah renta dan pikun bernama Abah Erlangga, serta adiknya, Ibu Irna, penyandang disabilitas intelektual.
Di rumah yang nyaris roboh dan tidak memenuhi standar kesehatan itu, mereka juga mengasuh Risman, anak kecil berusia tiga tahun, putra dari Ibu Irna. Beban hidup keluarga ini kian berat setelah Neni mengalami kekerasan seksual yang mencederai martabat dan kemanusiaannya.
DPRD Garut Turun Langsung
Senin (25/08/2025), Anggota DPRD Garut dari Fraksi PDI Perjuangan, Yudha Puja Turnawan, bersama rombongan pemerintah daerah, mendatangi rumah keluarga korban. Turut hadir Kabid Perlindungan Anak Linlin, Kabid Pemberdayaan Perempuan Iryani, Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Santi, Camat Banyuresmi Heri Hermawan, dan Kepala Desa Cipicung Uban Setiawan.
“Kami melihat langsung kondisi keluarga ini. Abah Erlangga sudah tidak bisa berkomunikasi karena pikun, sementara Neni dan adiknya menghadapi keterbatasan hidup. Situasi ini sungguh menyayat hati,” ujar Yudha kepada awak media.
Yudha menegaskan, kasus ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia mengingatkan aparat penegak hukum agar benar-benar memproses pelaku dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang secara tegas memberikan perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas.
“Walaupun penyandang disabilitas, kesaksian mereka memiliki kekuatan hukum yang sama. Pasal 24 ayat 4 UU TPKS menyebutkan dengan jelas. Maka, aparat penegak hukum harus mendengar suara korban dan saksi, meskipun mereka terbatas dalam komunikasi,” tegas Yudha.
Lebih dari Sekadar Kasus Kriminal
Bagi Yudha, tragedi yang menimpa Neni bukan hanya soal tindak kriminal. Ini juga soal kegagalan negara hadir melindungi warganya yang lemah. Ia menilai keluarga Neni termasuk dalam kategori miskin ekstrem dan seharusnya sudah mendapatkan perhatian serius sejak lama.
“Rumah yang mereka tempati sudah tidak layak huni. Abah Erlangga lebih tepat dirawat di griya lansia. Risman, anak kecil berusia tiga tahun yang belum bisa berbicara, butuh pendampingan tumbuh kembang khusus. Keluarga ini tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri,” ungkapnya.
Yudha mendorong pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial (Kemensos RI) untuk mengintervensi langsung, misalnya lewat program Rumah Sejahtera Terpadu. Program ini bisa membantu memenuhi kebutuhan dasar, mulai dari hunian, kesehatan, hingga pendidikan bagi keluarga penyandang disabilitas.
Seruan Moral bagi Masyarakat
Selain mendorong pemerintah, Yudha juga menyerukan kepada masyarakat agar tidak diam menghadapi kasus kekerasan seksual, apalagi yang menimpa kelompok rentan. Ia mengaku sempat diperlihatkan video dari warga, di mana Neni menangis kesakitan akibat perlakuan bejat pelaku.
“Kita tidak boleh permisif. Predator seksual harus berhadapan dengan hukum. Jika masyarakat hanya diam, maka para pelaku akan semakin berani. Kita semua punya tanggung jawab moral untuk melindungi mereka,” ucapnya dengan tegas.
Menurut Yudha, masih banyak perempuan penyandang disabilitas di Garut yang hidup dalam keterbatasan dan rentan menjadi korban kekerasan seksual. Karena itu, ia berharap kasus Neni bisa menjadi momentum bagi semua pihak untuk lebih peduli.
“Ibu Neni tidak bisa bersuara memperjuangkan keadilan. Kita yang harus bersuara untuknya,” pungkas Yudha.
Negara Harus Hadir
Kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas di Garut ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga tentang keadilan sosial dan tanggung jawab negara. Perlindungan terhadap kelompok rentan tidak boleh berhenti pada retorika, melainkan harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan nyata, program intervensi, serta dukungan masyarakat.
Kisah Neni menjadi pengingat bahwa di tengah gembar-gembor pembangunan, masih ada warga yang hidup dalam keterpurukan, kesepian, dan tak berdaya menghadapi kekerasan. Negara tidak boleh lagi abai. Saatnya hukum ditegakkan, dan keadilan benar-benar berpihak pada yang lemah. (A1)