INI BUKAN PEMBANGUNAN, INI EKSEKUSI MASSAL TERHADAP ALAM DAN RAKYAT — DAN HUKUM MEMILIH DIAM”
Oleh: Tedie Sutardi Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS)
Kondisi galian
Garut, Medialibas. Com, — Garut hari ini tidak menghadapi bencana alam. Garut sedang menghadapi bencana kebijakan dan pembiaran hukum. Kerusakan lingkungan yang meluas akibat aktivitas galian C bukan peristiwa alamiah, melainkan kejahatan lingkungan yang dibiarkan hidup oleh diamnya negara dan lumpuhnya penegakan hukum.
Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedie Sutardi, menegaskan bahwa apa yang terjadi di Garut adalah pelanggaran konstitusi, pelanggaran hukum lingkungan, dan kejahatan kemanusiaan terselubung. (24 Desember 2025).
“Jangan lagi menyebut ini investasi. Ini adalah penjarahan ruang hidup rakyat yang dilegalkan oleh kebijakan diam,” kata Tedie. “Gunung dibelah, sungai dicekik, tanah dilucuti, lalu rakyat disuruh bersabar menunggu banjir dan longsor. Negara tahu, hukum tahu, tetapi semuanya memilih diam.”
KEJAHATAN TERBUKA, NAMUN HUKUM TIDAK TURUN
LIBAS menegaskan bahwa secara hukum, tidak ada alasan bagi pemerintah dan aparat di Garut untuk tidak bertindak. Dasar hukumnya terang-benderang.
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketika galian C menyebabkan banjir, longsor, hilangnya mata air, debu, dan ancaman keselamatan, maka hak konstitusional warga telah dirampas.
Namun di Garut, pelanggaran konstitusi ini dibiarkan berlangsung bertahun-tahun tanpa tindakan tegas.
Menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya:
Pasal 36: setiap kegiatan wajib memiliki izin lingkungan;
Pasal 40: izin usaha wajib dicabut jika izin lingkungan dicabut;
Pasal 69: dilarang melakukan perusakan lingkungan dan kegiatan tanpa izin;
Pasal 98 dan 99: pelaku perusakan lingkungan dapat dipidana hingga 10 tahun penjara dan denda miliaran rupiah.
“Semua pasal ini ada. Semua kerusakan ada. Yang tidak ada hanya keberanian hukum di Garut,” tegas Tedie.
GALIAN C: LEGAL DI ATAS KERTAS, ILEGAL DI ATAS TANAH
LIBAS menyebut banyak aktivitas galian C di Garut berdiri di atas izin bermasalah, melanggar tata ruang, bahkan beroperasi tanpa AMDAL yang sah. Ini melanggar UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, khususnya:
Pasal 158: tambang tanpa izin dipidana 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar.
Selain itu, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang melarang aktivitas yang bertentangan dengan fungsi kawasan, terutama kawasan lindung, resapan air, dan rawan bencana.
“Jika tambang berada di kawasan rawan longsor dan resapan air, maka itu kejahatan tata ruang. Tetapi di Garut, pelanggaran ini dipelihara dengan pembiaran,” ujar Tedie.
DIAMNYA APARAT = KEJAHATAN STRUKTURAL
LIBAS secara terbuka menyatakan: diamnya aparat penegak hukum dan pemerintah daerah Garut bukan netral, tetapi keberpihakan.
Menurut UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat yang:
tidak menjalankan kewenangan,
membiarkan pelanggaran hukum,
tidak menjatuhkan sanksi,
dapat dianggap melakukan penyalahgunaan wewenang dan maladministrasi.
“Ketika hukum tidak turun ke lokasi, tetapi truk-truk batu terus naik-turun setiap hari, maka yang bekerja bukan hukum, melainkan kesepakatan gelap,” kata Tedie.
LIBAS menyebut kondisi ini sebagai kejahatan struktural, di mana:
pengusaha mengeruk keuntungan,
pejabat berlindung di balik diam,
aparat menunggu bencana,
rakyat menjadi korban pertama dan terakhir.
BENCANA BUKAN TAKDIR, TAPI HASIL PEMBIARAN
Dampak galian C di Garut bukan teori. Ia hadir dalam bentuk sawah tertimbun lumpur, sungai dangkal, mata air hilang, rumah retak, jalan desa hancur, dan ketakutan massal setiap musim hujan.
“Setiap longsor adalah akta dakwaan alam terhadap pemerintah yang absen,” tegas Tedie. “Ini bukan kegagalan teknis. Ini kegagalan moral dan hukum.”
LIBAS menyebut situasi ini sebagai ekosida — pembunuhan sistematis terhadap ekosistem — yang berujung pada genosida sosial, di mana rakyat kecil secara perlahan dimiskinkan dan dikorbankan.
GUGATAN TERBUKA LIBAS
Atas dasar hukum dan fakta lapangan tersebut, LIBAS menyatakan sikap resmi dan terbuka:
Penutupan TOTAL seluruh galian C ilegal dan bermasalah;
Audit perizinan terbuka oleh lembaga independen;
Pidana dan perdata tanpa kompromi terhadap pelaku dan oknum pelindung;
Pemulihan lingkungan paksa sesuai prinsip polluter pays;
Evaluasi dan sanksi terhadap pejabat yang membiarkan pelanggaran hukum.
“Negara yang menunggu korban baru bertindak adalah negara yang gagal menjalankan hukum,” kata Tedie. “Jika hari ini hukum di Garut memilih diam, maka sejarah akan mencatatnya sebagai bagian dari kejahatan itu sendiri.”
PENUTUP
Jika kejahatan galian C terus dipelihara, maka Garut tidak sedang menuju pembangunan, melainkan menuju kuburan ekologis yang disahkan oleh pembiaran hukum.
“LIBAS tidak akan berhenti bersuara,” tutup Tedie Sutardi. “Alam telah menjerit, rakyat telah lelah. Jika negara terus absen dan hukum terus diam, maka kami akan berdiri di barisan sejarah untuk mengatakan: kehancuran ini bukan takdir, tetapi kejahatan yang disengaja.” (red).