Oleh: Ira Mayana
Bendahara Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS)
Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2025

Garut, medialibas.com _ Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang kita peringati setiap tanggal 5 Juni, bukanlah seremonial tahunan yang berhenti pada spanduk dan selebrasi. Bagi kami, komunitas akar rumput seperti Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), hari ini adalah panggilan untuk bertindak. Tahun 2025, dengan tema aksi kami: “Pelepasan Burung: Simbol Bebasnya Alam dari Kekangan Ketamakan”, menjadi bentuk nyata kesadaran akan pentingnya keseimbangan ekosistem.
Sebagai bendahara organisasi, saya tidak hanya bertugas mengelola dana—tapi juga memastikan bahwa setiap rupiah yang digunakan oleh komunitas kami bermuara pada nilai-nilai keadilan ekologis. Sebab, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun hak ini tidak berdiri sendiri. Ia melekat erat dengan kewajiban, sebagaimana diatur dalam Pasal 67, bahwa “setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.”
Melalui kegiatan pelepasan burung yang kami lakukan di kawasan hijau pegunungan, kami ingin menyampaikan pesan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tugas negara atau lembaga besar. Kami, masyarakat kecil—petani, buruh, pelajar, dan penggiat lokal—adalah pemilik sah dari hak atas lingkungan. Maka kami pula yang harus berdiri paling depan dalam menjaganya.
Kami menyaksikan sendiri bagaimana hutan-hutan rakyat mulai terkikis, sumber air mengering, dan satwa kehilangan habitat. Semua itu adalah alarm keras bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya soal kehilangan keindahan, tapi soal runtuhnya hak hidup kita sendiri. Dan jika negara lambat bergerak, maka komunitas seperti LIBAS akan terus mengobarkan aksi-aksi kecil yang penuh makna.
Sebagai bendahara, saya percaya bahwa keuangan organisasi berbasis lingkungan harus berlandaskan transparansi dan tanggung jawab ekologis. Setiap program kami—dari penyuluhan ke sekolah-sekolah, pelatihan pertanian organik, hingga patroli hutan rakyat—harus memastikan bahwa dana digunakan untuk menegakkan hak dan menjalankan kewajiban atas lingkungan hidup, seperti diamanatkan undang-undang.
Namun kami juga sadar bahwa perjuangan ini tidak bisa sendiri. Kami mendesak pemerintah daerah untuk serius menegakkan aturan lingkungan, memberi ruang bagi partisipasi masyarakat sipil, dan menjamin perlindungan terhadap para pejuang lingkungan. Karena tanpa dukungan sistemik, semangat warga bisa padam, dan hukum tinggal menjadi teks tanpa makna.
Untuk itu, kami mengajak seluruh elemen masyarakat—khususnya generasi muda—untuk melihat bahwa krisis lingkungan bukan isu masa depan, tapi soal hari ini. Kita tidak sedang menyelamatkan hutan semata, tapi menyelamatkan hak kita atas air bersih, udara segar, pangan sehat, dan masa depan yang layak.
Mari kita tidak menunggu hancurnya bumi untuk sadar. Mari kita mulai dari hal-hal kecil: memilah sampah, menanam pohon, mengurangi konsumsi plastik, hingga aktif dalam komunitas lokal yang peduli lingkungan. Karena sebagaimana kata pepatah adat kami: “Alam bukan warisan nenek moyang, tapi titipan anak cucu.”
Akhir kata, Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini harus menjadi momentum kolektif. Untuk menyatukan suara bahwa hak atas lingkungan hidup bukan sekadar teori, melainkan tanggung jawab bersama yang harus dijaga dengan kerja nyata. (AA)