
Bandung,Medialibas.com – Sejarah dan budaya Sunda kembali menjadi perhatian setelah naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian dibicarakan dalam sebuah forum budaya di Bandung. Naskah yang ditulis lebih dari lima abad lalu ini, menurut para filolog, bukan hanya catatan sejarah, tetapi pedoman hidup penuh hikmah yang masih relevan untuk kehidupan masyarakat modern.
Filolog muda, Anggi Endrawan, menegaskan bahwa isi naskah tersebut memuat nilai-nilai universal yang dapat menjadi penopang moral bangsa.
“Tidak ada satu pun ajaran dalam naskah ini yang bertentangan dengan prinsip kemodernan. Justru, Sanghyang Siksa Kandang Karesian memberi dasar kuat untuk membangun karakter dan tata kelola kehidupan yang beradab,” ujar Anggi, Selas (19/08/2025).
Warisan Kuno dari Kabuyutan Ciburuy
Naskah ini pertama kali ditemukan di Kabuyutan Ciburuy, Garut, dan ditulis dalam bahasa Sunda kuno di atas daun nipah sekitar tahun 1440 Saka atau 1518 M. Kini, manuskrip tersebut tersimpan aman di Perpustakaan Nasional sebagai salah satu warisan intelektual Nusantara.
Nama naskah ini sendiri menyiratkan makna mendalam. Sanghyang berarti suci, siksa berarti ajaran, sementara kandang karesian dapat diartikan sebagai tata aturan kehidupan dengan batas-batasnya. Dengan kata lain, naskah ini merupakan ajaran suci yang mengatur bagaimana manusia menjalani kehidupan secara benar, baik dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun alam semesta.
Dua Bagian Utama: Moral dan Ilmu Pengetahuan
Isi naskah terbagi menjadi dua ajaran besar. Pertama, dasakreta, yang berisi tuntunan akhlak universal, menekankan sikap rendah hati, kejujuran, serta rasa tanggung jawab. Kedua, darma pitutur, yakni kumpulan ilmu pengetahuan yang wajib dikuasai agar manusia mampu hidup bermanfaat, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
Meski berjudul karesian yang kerap dihubungkan dengan dunia kerohanian, ajaran dalam naskah ini jauh melampaui batas religius. Ia mencakup prinsip darma, etika sosial, hingga wawasan ilmu pengetahuan praktis yang bisa diterapkan dalam tata kelola pemerintahan.
“Kalau kita perhatikan, bahkan dalam konteks kenegaraan, naskah ini mengajarkan prinsip pengelolaan negara pada masanya. Leluhur Sunda sudah memiliki visi yang jauh ke depan,” jelas Anggi.
Sumedang sebagai Pusat Intelektual Sunda
Menariknya, naskah ini juga memiliki keterkaitan erat dengan Sumedang. Menurut Anggi, wilayah itu sejak dahulu merupakan pusat pengembangan intelektual Sunda.
“Dalam satu kali pencarian saja, di Sumedang ditemukan 190 naskah kuno. Fakta ini menunjukkan bahwa sejak era kerajaan, Sumedang telah menjadi pusat literasi dan pengetahuan. Itu bukti betapa majunya sistem intelektual Sunda kala itu,” tuturnya.
Temuan tersebut memperkuat anggapan bahwa masyarakat Sunda memiliki tradisi intelektual yang tinggi, sejajar dengan peradaban besar lain di Nusantara.
Ajakan Melestarikan Warisan
Namun, Anggi juga mengingatkan bahwa masih banyak manuskrip Sunda yang belum digali, bahkan terancam hilang. Ia mendorong pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi, agar lebih serius memberi perhatian pada pelestarian naskah kuno.
“Manuskrip-manuskrip ini bukan hanya benda mati. Ia menyimpan filosofi hidup, pengetahuan, dan jati diri bangsa. Jika tidak dijaga, maka kita akan kehilangan jejak kebijaksanaan leluhur yang seharusnya menjadi bekal menghadapi masa depan,” katanya dengan nada tegas.
Prosesi di Hari Jadi Jawa Barat
Sebagai bagian dari upaya menghidupkan kembali warisan budaya ini, pada peringatan HUT ke-80 Jawa Barat digelar prosesi pembacaan naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Acara itu bukan hanya ritual seremonial, melainkan simbol penghormatan kepada khazanah intelektual Sunda yang masih memberi inspirasi hingga kini.
Prosesi tersebut diharapkan dapat menggugah kesadaran publik tentang pentingnya melestarikan warisan budaya. Sebab, di balik lembaran-lembaran daun nipah itu, tersimpan pandangan hidup yang menekankan keseimbangan, kebajikan, dan pengetahuan.
Hikmah untuk Dunia Modern
Di tengah arus globalisasi dan derasnya tantangan moral, ajaran dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian menjadi pengingat bahwa nilai-nilai luhur sejatinya sudah diwariskan leluhur sejak lama.
“Kalau kita bicara tentang integritas, tanggung jawab, atau etika kepemimpinan, semua itu sudah ada di naskah ini. Tinggal bagaimana kita menggali dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,” pungkas Anggi. (Irvan.H)