
Oplus_131072
Bandung,Medialibas.com – Kekayaan budaya, sejarah, dan kearifan lokal Garut menyimpan potensi besar yang kerap terabaikan. Hal itu ditegaskan oleh Dr. Dwi Ardini, ST., MT., seorang akademisi dan penggiat pembangunan daerah, putri asli Garut dalam sebuah forum diskusi publik bertema “Revitalisasi Sejarah dan Budaya Lokal sebagai Daya Saing Daerah” yang digelar baru-baru ini di Balle Balebat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Rabu,(06/08/2025)
Dalam paparannya, Dwi mengingatkan bahwa masyarakat Garut perlu menyadari keistimewaan yang mereka miliki. Ia menilai bahwa berbagai unsur khas Garut seperti kuliner dodol, kerajinan kulit Sukaregang, batik Garutan, seni bela diri pencak silat, serta kekayaan arsitektur dan sejarah kolonial memiliki daya tarik luar biasa yang bahkan lebih dihargai oleh warga luar daerah dan turis mancanegara dibanding warga lokal sendiri.
“Kadang kita tidak sadar bahwa yang kita miliki ini sangat luar biasa. Banyak turis asing datang ke Garut bukan hanya untuk melihat gunung atau danau, tetapi untuk merasakan langsung budaya kita: menyentuh, mencicipi, mengalami. Itu kekuatan besar,” ujar Dwi di hadapan para akademisi, pelaku UMKM, seniman, dan tokoh masyarakat Garut yang ada di Kabupaten Bandung dan para tamu undangan dari berbagai daerah.
Sejarah Bukan Sekadar Masa Lalu, Tapi Fondasi Masa Depan
Dwi menekankan pentingnya memandang sejarah bukan sebagai nostalgia semata, melainkan sebagai pijakan untuk membangun masa depan. Ia menggunakan metafora yang kuat: “Sejarah adalah akar, dan inovasi adalah sayapnya.”
Dikatakanya, negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Thailand telah membuktikan bahwa pelestarian budaya dan sejarah lokal dapat menjadi fondasi kuat untuk membangun ekonomi kreatif yang mendunia. Di Garut, kata Dwi, semua “bahan mentah” itu sudah ada yang diperlukan adalah kemauan kolektif untuk mengemasnya dengan baik.
“Branding, storytelling, digitalisasi itu semua tools modern yang bisa kita pakai untuk mengangkat kekhasan lokal ke tingkat internasional,” jelasnya.
Dwi juga menyebut bahwa destinasi wisata berbasis budaya memiliki peluang lebih besar untuk menciptakan pengalaman berkesan bagi wisatawan. Saat ini, banyak wisatawan justru lebih tertarik pada aktivitas yang membawa mereka masuk ke kehidupan sehari-hari masyarakat lokal, seperti tinggal di homestay, berkunjung ke pasar tradisional, atau mengikuti workshop membuat dodol dan batik.
Warisan Arsitektur dan Nilai Sejarah sebagai Aset Ekonomi
Deni menggarisbawahi pentingnya pelestarian dan revitalisasi bangunan-bangunan bersejarah di Garut. Ia mencontohkan Pendopo Kabupaten, Alun-Alun Garut, dan berbagai bangunan peninggalan kolonial yang tersebar di wilayah kota dan desa.
Menurutnya, bangunan tersebut bukan sekadar artefak masa lalu, tapi dapat dimanfaatkan sebagai aset ekonomi, wisata edukatif, dan identitas visual daerah.
“Kita bisa belajar dari kota seperti Yogyakarta atau Malacca di Malaysia bagaimana mereka mengemas kota tuanya menjadi magnet wisata tanpa kehilangan ruh sejarahnya,” ungkap Dwi Ardini.
Ia menyarankan agar pemerintah daerah dan pelaku swasta menjalin kemitraan untuk menyusun grand design kawasan bersejarah Garut, mengintegrasikannya ke dalam peta wisata budaya, serta memperkuat narasi-narasi sejarah lokal melalui museum, festival, dan media digital.
Generasi Muda sebagai Pelestari Sekaligus Inovator
Salah satu kekhawatiran Dwi adalah terputusnya hubungan generasi muda dengan akar budayanya sendiri. Ia mencermati bahwa banyak anak muda di Garut yang lebih mengenal budaya pop luar negeri ketimbang memahami sejarah dan tradisi leluhurnya.
“Pendidikan sejarah lokal harus dihidupkan kembali, bukan sekadar pelajaran hafalan. Bawa siswa ke situs sejarah, libatkan mereka dalam proyek seni berbasis cerita rakyat, dorong mereka membuat konten kreatif yang mengangkat tokoh dan kisah dari Garut,” tegasnya.
Deni juga mendorong agar komunitas kreatif dan sekolah-sekolah di Garut menginisiasi kegiatan digitalisasi naskah kuno, pembuatan film dokumenter sejarah lokal, hingga festival seni yang menampilkan tradisi daerah secara segar dan relevan dengan zaman.
Membangun Ekosistem Kolaboratif untuk Masa Depan Garut
Mengakhiri paparannya, Dwi menyampaikan seruan penting: potensi sejarah dan budaya Garut hanya bisa diangkat secara optimal jika seluruh komponen masyarakat bekerja secara kolaboratif. Akademisi, pemerintah, pelaku UMKM, seniman, tokoh adat, dan pemuda harus membentuk ekosistem yang saling mendukung dan menguatkan.
“Garut tidak kekurangan potensi, yang kita butuhkan adalah sinergi. Jangan jalan sendiri-sendiri. Kita harus punya visi bersama: menjadikan Garut sebagai pusat budaya dan sejarah yang dikenal luas, baik di tingkat nasional maupun internasional,” tutup Dwi.
Pernyataan dan gagasan Dr. Dwi Ardini ini, mencerminkan pentingnya keberanian dan kebanggaan untuk merawat serta mengangkat warisan budaya dan sejarah lokal.
Di tengah arus globalisasi yang terus menggulung, daerah seperti Garut memiliki peluang besar untuk menjadikan identitas lokalnya sebagai kekuatan ekonomi, sosial, dan diplomasi budaya asal mampu memeliharanya dengan semangat kolaboratif dan inovatif. (AHN)