
Oplus_131072
Garut,Medialibas.com – Setiap bulan Agustus, jalan-jalan utama di berbagai kota dan desa biasanya dipenuhi warna merah putih. Deretan bendera, umbul-umbul, dan hiasan kemerdekaan berkibar di pinggir jalan, menjadi pemandangan khas menjelang peringatan HUT Republik Indonesia ke-80 Tahun 2025. Namun saat ini, di era digitalisasi, suasana semarak itu mulai meredup.
Pedagang bendera tradisional kini menghadapi kenyataan pahit: penjualan menurun drastis akibat persaingan ketat dengan penjual online yang mampu menawarkan harga lebih murah, pilihan lebih banyak, dan pengiriman cepat ke rumah pembeli.
Lapak Sepi, Pedagang Menunggu Pembeli
Di tepi Jalan Cimanuk, Garut,Udan (50) duduk di bawah terpal biru, mengamati deretan bendera merah putih yang tertiup angin. Sudah lebih dari satu jam tak ada satu pun pembeli yang mampir.
“Kalau dulu, Agustus begini bisa ramai sekali. Sehari habis 30–40 bendera. Sekarang, paling laku 10 lembar, itu pun kadang di bawah target,” keluh Udan, saat di wawancarai Medialibas.com pada. Rabu, (13/08/2025).
Persaingannya berat, apalagi sekarang orang lebih suka beli di online.
Kondisi serupa dialami Neli (40), pedagang musiman yang hanya berjualan bendera setahun sekali.
“Saya jualan dari pagi sampai sore, kadang cuma laku beberapa. Dulu kan orang senang datang langsung, bisa lihat barang, pegang kainnya. Sekarang tinggal klik, barang langsung sampai,” ujarnya sambil mengelus kain umbul-umbul yang terlipat rapi.
Harga dan Kebiasaan Belanja Jadi Faktor Penentu
Penjual online, khususnya di marketplace besar, mampu menjual bendera dengan harga jauh di bawah pedagang konvensional. Biaya produksi massal dan promosi besar-besaran membuat mereka sulit disaingi. Ditambah lagi, pembeli kini semakin terbiasa dengan kemudahan belanja digital: tanpa repot keluar rumah, tanpa harus mencari lapak di pinggir jalan.
Padahal, bagi pedagang tradisional, biaya yang harus ditanggung tidak sedikit. Mereka harus membayar ongkos jahit, modal kain, biaya sewa lapak atau parkir, bahkan terkadang biaya keamanan.
“Kalau dijual murah seperti di online, kami rugi. Tapi kalau jual mahal, pembeli kabur,” kata Neli.
Tradisi yang Mulai Tergeser
Selain masalah ekonomi, fenomena ini juga menyentuh sisi budaya dan tradisi. Membeli bendera langsung di lapak pinggir jalan dulunya menjadi bagian dari kemeriahan HUT RI. Keluarga membawa anak-anak memilih bendera, menawar harga, lalu pulang dengan wajah gembira. Kini, momen itu jarang terlihat.
“Bendera itu simbol kebanggaan, semestinya dibeli dengan rasa, dengan semangat. Kalau semua serba online, rasa kebersamaan itu hilang,” kata Neli.
Harapan dari Pedagang
Menjelang peringatan HUT ke-80 RI, para pedagang berharap ada dukungan nyata dari pemerintah daerah. Bentuknya bisa berupa penyediaan lokasi strategis untuk berjualan, pengadaan bazar Agustusan, atau promosi khusus yang melibatkan pedagang lokal.
“Kami tidak minta banyak, hanya ingin tetap punya tempat di tengah kemajuan zaman. Kalau pedagang seperti kami mati, nanti siapa yang jualan bendera di jalan? Masa semuanya beli lewat HP?” tutur Udan.
Potret Perubahan Zaman
Fenomena ini menjadi potret perubahan perilaku belanja masyarakat Indonesia. Digitalisasi memang memberikan kemudahan, tetapi juga membawa tantangan besar bagi pelaku usaha kecil.
Di satu sisi, pasar online memperluas pilihan dan menekan harga. Di sisi lain, pedagang tradisional harus mencari cara bertahan di tengah gelombang persaingan yang tak seimbang.
Sore itu, matahari mulai condong ke barat. Angin sore membawa bendera-bendera berkibar lebih kencang, seolah tetap berdiri tegak meski pembelinya jarang. Bagi Udan dan Neli,bendera-bendera itu bukan sekadar kain berwarna merah dan putih, tapi simbol perjuangan perjuangan mereka sendiri untuk tetap bertahan di tengah derasnya arus digitalisasi. (A1)