Pesan Nurani dari Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS)

Garut,medialibas.com. – Hujan deras mengguyur negeri saat kemarau, banjir melanda tanpa aba-aba, tanah longsor menelan rumah dan nyawa. Kita menyebutnya “musim kemarau basah”, tapi sebetulnya ini bukan sekadar fenomena cuaca. Ini adalah ratapan bumi, jeritan alam yang kita aniaya bersama-sama.
Kita terbiasa menyalahkan angin, awan, atau badai. Tapi jarang sekali kita menengok ke cermin dan bertanya: apa yang sudah kita lakukan hingga langit tak lagi percaya pada waktunya sendiri?(6/6/2025)
Ini Terjadi Karena Kita Semua Lalai
- Angin Tak Lagi Bebas
Pola angin rusak karena pepohonan yang dirampas, gunung yang dilukai, dan tanah yang kita tutupi beton. Angin kini kacau karena kita tak lagi menghormati ruang hidupnya. - Laut Memanas Karena Keserakahan Kita
Kita buang limbah ke laut, kita panaskan bumi dengan mesin-mesin rakus. Laut menangis dalam senyap, berubah jadi tungku raksasa yang menguapkan air tanpa henti. - Fenomena Global Tak Akan Jadi Bencana Jika Kita Siap
Kita tahu soal El Niño dan La Niña. Tapi apa gunanya pengetahuan, jika niat baik untuk bertindak nyaris nihil? Pemerintah terlalu lambat, masyarakat terlalu masa bodoh. - Krisis Iklim, Krisis Kemanusiaan
Ini bukan cerita sains—ini soal hidup dan mati. Kita sedang menulis naskah kehancuran, dan semua tangan ikut mencoretkan tinta dosa.
Kita Sedang Dihukum, Tapi Masih Saja Menertawakannya
- Banjir di Saat Harusnya Kering
Kita bangga membangun kota, tapi tak pernah peduli ke mana air akan pergi. Saat banjir datang, kita hanya saling tuding, tanpa pernah benar-benar belajar. - Longsor Bukan Bencana, Tapi Buah dari Rakus
Tanah longsor bukan kutukan. Ia hanya jujur menunjukkan bahwa kita telah mengikis sendi bumi demi tambang, jalan, dan vila-vila mewah. - Penyakit Menyebar Karena Kita Biarkan Lingkungan Sakit
Nyamuk tak bersalah. Yang bersalah adalah manusia yang menciptakan habitat sempurna bagi mereka lewat sampah, genangan, dan got yang tak terurus. - Petani Gagal Panen, Tapi Kita Masih Membuang Makanan
Di desa, petani menangis karena sawahnya kebanjiran. Di kota, restoran membuang nasi utuh ke tempat sampah. Apa masih pantas kita menyebut ini negara agraris? - Ekonomi Lesu Karena Kita Sendiri yang Lumpuhkan
Alam menyiapkan kekayaan, tapi kita membakarnya. Kini pariwisata sepi, transportasi kacau, dan rakyat kecil menjerit. Apakah kita butuh bencana yang lebih besar lagi untuk sadar?
Tuhan Tak Akan Mengubah Nasib Suatu Kaum, Jika Mereka Tak Mau Mengubahnya Sendiri
Kepada Pemerintah:
Jangan hanya tegas pada rakyat kecil. Tegaslah pada korporasi perusak hutan.
Jangan hanya sibuk meresmikan gedung. Resmikan perlindungan bumi.
Jangan bangga dengan pembangunan fisik, kalau fondasinya adalah kehancuran alam.
Kepada Masyarakat:
Kita tak bisa lagi bilang “bukan urusan saya”. Ini urusan semua orang.
Setiap sampah yang kita buang sembarangan, setiap pohon yang kita biarkan ditebang, setiap diam kita saat kejahatan ekologi terjadi—semuanya akan kembali dalam bentuk banjir, longsor, dan krisis.
Musim Kemarau Basah Adalah Surat Terakhir dari Alam. Sudah Dibacakah?
Bumi tidak menunggu kita berubah. Dia hanya memberi waktu, lalu menagihnya. Kita masih bisa memilih:
Memperbaiki atau membiarkan kehancuran semakin jadi.
Jika hari ini kita masih bisa melihat matahari, hirup udara segar, dan menanam benih di tanah—itu bukan hak. Itu adalah kesempatan terakhir.
Bersujudlah pada tanah. Mohonlah maaf pada langit. Dan mulai ubah cara kita hidup—sebelum bumi memutuskan untuk mencabut semuanya. (AA)
Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS)
“Alam tidak membalas. Ia hanya mencerminkan apa yang kita beri padanya.”