
GARUT Medialibas. Com, — Fenomena perubahan musim yang tak menentu kembali melanda wilayah Jawa Barat. Pergantian antara musim hujan dan kemarau kini tidak dapat diprediksi secara pasti, mengacaukan pola tanam, sumber air, hingga kesehatan masyarakat. Namun, di balik gejala alam ini, muncul keprihatinan mendalam dari pemerhati lingkungan, Ira Maryana, yang menilai kondisi ini bukan sekadar akibat iklim global, melainkan refleksi dari krisis tanggung jawab manusia terhadap alam.
“Banyak orang menganggap perubahan musim hanya perkara alam, padahal ini adalah akibat langsung dari ulah manusia yang terus mengabaikan keseimbangan ekosistem,” tegas Ira Maryana, saat diwawancarai, Sabtu (18/10/2025).
Ia menambahkan, masyarakat semestinya menjadikan fenomena ini sebagai pelajaran penting tentang arti tanggung jawab bersama terhadap alam, bukan justru menunggu pemerintah saja untuk bertindak.
Dasar Hukum: UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menjadi payung hukum utama dalam pelaksanaan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.
Pasal-pasal dalam undang-undang ini secara tegas menekankan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Beberapa pasal penting antara lain:
Pasal 2 huruf e dan f:
Menyebutkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus berlandaskan pada asas tanggung jawab, keberlanjutan, dan partisipatif.
Pasal 67:
“Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”
Pasal 68:
Menegaskan bahwa setiap orang wajib memberikan informasi yang benar dan melaksanakan kewajiban pengelolaan limbah serta menjaga kebersihan lingkungan.
Dengan demikian, perubahan musim yang tak menentu bukan hanya fenomena alamiah, tetapi juga indikator pelanggaran terhadap asas tanggung jawab lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Pandangan Teori dan Ahli Lingkungan
Menurut teori Ekologi Manusia dari Julian Steward (1955), lingkungan dan manusia memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Jika manusia mengubah struktur ekologis secara drastis—misalnya lewat deforestasi, pencemaran udara, atau pembangunan yang tak ramah lingkungan—maka akan terjadi adaptasi ekologis baru yang bisa menimbulkan ketidakstabilan cuaca dan musim.
Sementara itu, Prof. Emil Salim, pakar lingkungan dan arsitek kebijakan lingkungan Indonesia, menyatakan bahwa “kerusakan lingkungan hidup adalah akibat dari lemahnya etika ekologis masyarakat.”
Menurutnya, perilaku manusia yang konsumtif dan abai terhadap keseimbangan alam menjadi akar utama krisis iklim yang kini dirasakan.
Dampak Langsung di Jawa Barat
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa selama 2025, curah hujan di beberapa wilayah Jawa Barat mengalami anomali lebih dari 40% dibandingkan rata-rata tahunan.
Petani di Garut, Tasikmalaya, dan Indramayu mengeluhkan pola tanam yang gagal karena hujan datang tidak menentu. Selain itu, sejumlah daerah mengalami lonjakan penyakit berbasis cuaca, seperti ISPA dan demam berdarah.
Refleksi Sosial dan Moral
Bagi Ira Maryana, fenomena ini harus dijadikan “alarm moral” bagi manusia modern yang semakin menjauh dari alam.
“Kita terlalu sibuk membangun beton, tapi lupa bahwa akar kehidupan ada pada tanah, air, dan udara yang kini kita rusak sendiri,” ujarnya.
Ia berharap agar seluruh lapisan masyarakat, dari pemerintah hingga warga desa, ikut menegakkan tanggung jawab sebagaimana amanat UU No. 32 Tahun 2009.
Kesimpulan
Perubahan musim yang tidak menentu di Jawa Barat bukan sekadar gejala cuaca, tetapi gejala sosial dan moral dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Undang-undang sudah mengatur kewajiban bersama untuk menjaga kelestarian alam, namun tanpa kesadaran dan tanggung jawab kolektif, hukum hanyalah teks tanpa ruh.
“Musim yang tak tentu adalah pesan alam — bahwa kita sedang kehilangan arah antara kerakusan dan keharusan menjaga kehidupan,” tutur Ira Maryana menutup pernyataannya. (AA)