
Bandung,Medialibas.com – Suasana Pasar Saeuran di Jalan Gatot Subroto, Kelurahan Binong Jati, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Jawa Barat semakin hari semakin lesu. Bukan hanya karena sepinya pembeli, melainkan akibat harga kebutuhan pokok yang kian tak terkendali. Pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya di pasar tradisional itu kini berada di ujung tanduk, terjepit antara modal yang terus naik dan daya beli masyarakat yang terus menurun.
Ai (55), seorang pedagang sayuran sekaligus daging ayam yang sudah lebih dari 15 tahun berjualan di pasar tersebut, mengaku kondisi kali ini adalah yang terburuk sepanjang dirinya berdagang. Setiap hari, ia harus berhadapan dengan kenyataan pahit: barang dagangannya tidak laku, bahkan sebagian membusuk sebelum sempat terjual.
“Sekarang rakyat kecil lagi menjerit. Ekonomi makin susah, tapi gaji dewan dinaikkan. Lapangan kerja kurang, upah buruh juga minim dan tidak seimbang dengan pengeluaran sehari-hari, apalagi untuk biaya sekolah anak,” ujar Ai dengan nada getir. Selasa,,(16/09/2025).
Harga Sembako Melonjak, Daya Beli Merosot
Beras, cabai, bawang merah, hingga daging ayam semua harga kebutuhan pokok naik signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Lonjakan harga itu membuat masyarakat semakin berhitung dalam berbelanja. Jika dulu pembeli terbiasa membeli satu kilogram bahan pokok, kini mereka hanya membeli seperempat atau setengah kilogram.
“Kalau ditanya, jawabannya sama: uang pas-pasan. Mereka bilang harus mengatur belanja supaya bisa cukup sampai akhir bulan,” kata salah satu pedagang yang enggan disebut namanya.
Fenomena ini menciptakan lingkaran setan: harga naik, pembeli menurun, dagangan tidak laku, pedagang merugi, dan akhirnya masyarakat semakin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Ketidakadilan Sosial di Tengah Kenaikan Gaji Elit
Kekecewaan pedagang semakin memuncak ketika mendengar kabar kenaikan gaji dan tunjangan anggota dewan. Bagi mereka, hal ini mencerminkan jurang ketidakadilan yang semakin lebar antara elit politik dengan rakyat kecil.
“Pemerintah seharusnya lebih peka. Jangan hanya memikirkan kenyamanan kalangan atas, sementara rakyat kecil dituntut terus berhemat bahkan sampai tidak bisa makan layak,” tegas Ai.
Sikap pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat menambah beban psikologis pedagang. Mereka merasa diabaikan, seolah-olah jeritan rakyat tidak pernah sampai ke telinga pengambil kebijakan.
Pasar Tradisional di Ambang Kehancuran
Jika kondisi ini terus dibiarkan, masa depan pasar tradisional terancam. Pedagang kecil yang tidak memiliki modal besar akan mudah gulung tikar, meninggalkan lapak kosong dan menambah jumlah pengangguran baru. Dampaknya bukan hanya pada ekonomi keluarga pedagang, tetapi juga pada kehidupan sosial di sekitar pasar.
“Kalau pedagang pasar mati, berarti roda ekonomi rakyat mati. Pasar tradisional itu penopang utama kehidupan rakyat kecil,” ungkap salah seorang tokoh masyarakat setempat.
Harapan untuk Aksi Nyata Pemerintah
Para pedagang mendesak pemerintah segera turun tangan dengan kebijakan yang nyata, bukan sekadar janji politik. Mereka menuntut adanya program stabilisasi harga, pengawasan distribusi pangan agar tidak dikuasai spekulan, serta dukungan terhadap pedagang pasar tradisional melalui subsidi atau fasilitas modal ringan.
“Kalau begini terus, tidak lama lagi banyak pedagang gulung tikar. Pemerintah jangan tutup mata. Kami hanya ingin hidup layak, bukan kaya raya,” pungkas Ai dengan mata berkaca-kaca.
Fenomena yang terjadi di Pasar Binong Jati adalah potret nyata bagaimana krisis ekonomi menekan lapisan masyarakat bawah. Di tengah kabar kenaikan gaji pejabat, rakyat kecil justru semakin terhimpit, mempertegas jurang ketidakadilan sosial yang kian menganga di negeri ini.
(Agus.S)