
GARUT, Medialibas.com – Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedie Sutardi, melontarkan pernyataan keras dan penuh kekecewaan terhadap lemahnya penegakan hukum dalam kasus kerusakan lingkungan di Cagar Alam Kamojang dan zona Gunung Guntur. Ia menyebut bahwa kejahatan ekologis yang terjadi di kawasan konservasi itu telah berlangsung secara sistematis dan terang-terangan, namun tidak mendapatkan respons hukum yang tegas dari BKSDA Wilayah V Garut, aparat maupun pemerintah. Yang lebih menyakitkan lagi, justru masyarakat yang berani menyuarakan kerusakan alam ini diintimidasi, dibungkam, bahkan diteror.
“Ini bukan hanya pelanggaran administratif. Ini bentuk pembangkangan terhadap konstitusi ekologis negeri ini. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya secara tegas melarang perusakan kawasan konservasi. Tapi sekarang, siapa yang bertindak? Yang melaporkan kerusakan justru diburu, bukannya dilindungi,” tegas Tedie saat diwawancarai di Garut, (17/7/2025).
CAGAR ALAM YANG DITINGGALKAN NEGARA
Cagar Alam Kamojang dan Gunung Guntur merupakan kawasan yang sangat vital, baik dari sisi ekologis maupun kebencanaan. Ia menjadi penyangga utama terhadap ancaman perubahan iklim, krisis air, dan longsor yang kerap melanda wilayah Garut dan sekitarnya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan penggundulan hutan, pembangunan liar, praktik galian ilegal, serta konversi kawasan lindung menjadi objek wisata komersial yang merusak integritas kawasan.
Kegiatan-kegiatan tersebut telah melanggar UU No. 5 Tahun 1990, namun dibiarkan tanpa tindakan hukum yang tegas. Tedie menyebutkan bahwa kekosongan penegakan hukum bukanlah karena ketidaktahuan, melainkan karena adanya pembiaran, kolusi, dan kemungkinan besar keterlibatan oknum tertentu.
“Kita bukan kekurangan aturan. Kita kekurangan keberanian dan kejujuran,” tambahnya.
UNDANG-UNDANG DILANGGAR, RAKYAT DIKRIMINALISASI
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 67 menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Lebih lanjut, pasal 69 menyatakan bahwa tindakan perusakan lingkungan secara sistemik adalah kejahatan berat yang dapat dipidana.
Namun dalam kenyataan pahit, warga yang berani melaporkan kerusakan justru mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak. Beberapa warga di sekitar kawasan Gunung Guntur dan Kamojang menyebutkan bahwa mereka ditekan secara sosial, diteror oleh pihak tak dikenal, bahkan diminta untuk ‘diam atau diusir’ dari kampung sendiri.
“Kami hanya ingin hutan tetap ada, air tidak kering, dan bencana tidak makin sering. Tapi kami dituduh macam-macam. Ada yang bilang kami anti-pembangunan, ada yang kirim ancaman lewat pesan singkat. Padahal kami hanya menyuarakan kebenaran,” ujar salah satu warga di kawasan Samarang yang menolak disebutkan namanya.
UU NO. 18/2013: SANKSI UNTUK PEMBIARAN KERUSAKAN HUTAN
UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur bahwa siapa pun yang mengetahui, memfasilitasi, atau membiarkan aktivitas perusakan hutan dapat dikenai sanksi pidana. Termasuk dalam kategori pelanggar adalah pejabat publik yang tidak menjalankan kewajiban pengawasan dan penindakan.
Namun Tedie melihat bahwa undang-undang ini hanya hidup di atas kertas. Tidak ada penegakan nyata, meskipun bukti dan laporan kerusakan telah tersebar luas, baik melalui media sosial, laporan LSM, maupun pengaduan langsung ke pemerintah daerah dan pusat.
“Hukum kita tumpul ke atas, tajam ke bawah. Padahal hutan bukan milik bupati, gubernur, atau menteri. Hutan adalah milik publik. Ketika publik bersuara, itu bukan ancaman. Itu panggilan nurani. Tapi saat ini, nurani telah dibungkam dengan cara-cara kekuasaan yang busuk,” seru Tedie.
TEDIE SUTARDI: KAMI AKAN LAWAN DENGAN SELURUH NAFAS PERLAWANAN RAKYAT
Dalam konferensi pers terbuka yang digelar di halaman sekretariat LIBAS, Tedie menyatakan akan menggalang konsolidasi nasional untuk menyuarakan perlindungan hutan Kamojang dan Gunung Guntur. Ia menegaskan bahwa pihaknya sedang mempersiapkan:
- Laporan resmi ke Komnas HAM atas dugaan pelanggaran hak warga dalam menyampaikan informasi lingkungan hidup.
- Gugatan hukum terhadap pejabat atau perusahaan yang terindikasi terlibat dalam perusakan kawasan.
- Aksi publik terbuka jika tuntutan tak digubris, sebagai bentuk protes terhadap sistem hukum yang memihak pada kekuasaan dan uang.
“Jangan kalian jadikan UU sebagai tirai kemunafikan. Kalau masyarakat yang menjaga hutan kalian bungkam, lalu siapa yang akan menyelamatkan anak cucu kalian nanti? Cagar Alam Kamojang dan Gunung Guntur bukan milik pejabat, bukan milik investor, tapi milik rakyat dan anak cucu negeri ini!” pungkasnya dengan penuh semangat.
AKHIR KATA: SAAT SUARA RAKYAT DIBUNGKAM, MAKA HUTAN AKAN BERBICARA DENGAN BANJIR, LONGSOR, DAN KRISIS
Hutan yang rusak akan membalas. Dalam diamnya, ia menyimpan amarah dalam bentuk banjir, kekeringan, konflik sosial, dan bencana ekologis. Maka suara rakyat yang berseru menyelamatkan hutan bukan musuh negara, tapi penyelamat terakhir sebelum bumi runtuh.
“Jika suara kami dibungkam, maka suara air yang meluap, angin yang mengamuk, dan tanah yang longsor akan menyuarakan kebenaran itu dengan cara yang lebih dahsyat.”
— Tedie Sutardi, Ketua LIBAS (AA)