![]()
Oleh: Tedie Sutardi, Alumni SMP Yayasan Baitul Hikmah
Garut,Medialibas.com – Di tengah gempuran modernisasi dan kerakusan ekonomi lokal, nurani pendidikan perlahan diremukkan oleh keserakahan tanpa batas. Sebuah fakta menyakitkan kini muncul di hadapan kita: bangunan sekolah tempat menanam benih masa depan bangsa mulai dialihfungsikan menjadi mini market dan pusat komersial.
Pertanyaannya: di mana pemerintah daerah? Apakah mereka tutup mata atas pergeseran nilai luhur pendidikan yang kini dijadikan komoditas dagangan?
Tedie Sutardi, alumni SMP Yayasan Baitul Hikmah, dengan suara lantang menegaskan:
“Pendidikan adalah unsur pertama dan utama untuk kemajuan bangsa. Dari sanalah lahir generasi penerus yang cerdas, beradab, dan berdaulat. Ketika ruang belajar diganti dengan etalase jualan, sesungguhnya kita sedang menjual masa depan anak bangsa dengan harga yang sangat murah.” ujar Tedi. Senin, (03/11/2025).
Fenomena alih fungsi sekolah menjadi mini market bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Negara ini telah menegaskan bahwa pendidikan merupakan prioritas utama pembangunan nasional dan daerah.
Dasar hukumnya sangat jelas:
Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Pasal 31 Ayat (3) menegaskan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi mandat tegas bahwa urusan wajib pemerintah daerah adalah pendidikan, yang harus dijalankan sebagai prioritas utama.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga menegaskan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan arah sebaliknya. Lahan sekolah yang seharusnya menjadi pusat pembentukan karakter, malah dijual, digadaikan, atau disewakan untuk kepentingan ekonomi sesaat. Tidak ada analisis dampak sosial, tidak ada konsultasi publik, dan yang lebih parah — tidak ada tanggung jawab moral dari para pejabat yang seharusnya melindungi fasilitas pendidikan rakyat.
“Jika ruang belajar dirampas oleh kepentingan ekonomi, maka generasi kita akan tumbuh tanpa akar moral, tanpa pengetahuan, dan tanpa arah. Inilah awal kehancuran bangsa,” lanjut Tedie dengan nada getir.
Pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota tidak boleh tutup mata! Mereka tidak hanya bertanggung jawab di hadapan rakyat, tetapi juga di hadapan sejarah dan Tuhan. Pendidikan bukan beban anggaran, melainkan investasi peradaban.
Kini saatnya publik bersuara. Jangan biarkan sekolah berubah menjadi toko. Jangan biarkan cita-cita anak bangsa terhapus di antara deretan rak dan promosi harga diskon. Karena ketika sekolah mati, bangsa ini perlahan akan ikut mati.
Pendidikan adalah cahaya.
Memadamkannya adalah dosa sejarah. (A1)
