
Garut, medialibas.com – Fenomena meningkatnya aktivitas wisata di kawasan hutan belakangan ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, salah satunya dari komunitas penjelajah alam Jenggala. Marwan, anggota aktif komunitas tersebut, menyampaikan seruan tegas agar para wisatawan alam, penjelajah, maupun pendaki, meningkatkan kesadaran terhadap dampak ekologis yang ditimbulkan dari kegiatan mereka. Ia menekankan bahwa pelestarian hutan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi kewajiban setiap individu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Kawasan hutan saat ini banyak sekali dikunjungi oleh wisatawan dengan tujuan kemping atau menjelajah alam. Namun hal itu harus disertai dengan rasa tanggung jawab. Jangan sampai menimbulkan dampak seperti pembuangan sampah sembarangan, perusakan vegetasi, atau penebangan kayu untuk api unggun,” tegas Marwan dalam pernyataannya pada kegiatan diskusi terbuka Komunitas Jenggala, Selasa (3/6/2025).
Marwan mengingatkan bahwa tindakan merusak lingkungan di kawasan hutan, termasuk yang dilakukan oleh pengunjung, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. “Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara jelas melarang perusakan hutan oleh pihak mana pun. Bahkan membuang sampah sembarangan di kawasan lindung bisa dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Lingkungan Hidup,” tambahnya.
Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa setiap orang dilarang membuang benda atau bahan lain ke dalam kawasan hutan tanpa izin pihak berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, yang mencakup pidana penjara dan/atau denda.
“Bayangkan, hanya untuk membuat api unggun, seseorang menebang pohon muda atau merusak semak belukar. Padahal, tindakan itu bukan hanya merusak habitat satwa liar, tapi juga bisa memicu erosi dan kebakaran hutan,” kata Marwan.
Komunitas Jenggala secara konsisten mengedukasi anggotanya dan masyarakat luas tentang pentingnya etika menjelajah alam. Mereka mendorong penerapan prinsip Leave No Trace, yakni tidak meninggalkan jejak atau dampak buruk apa pun di alam.
Marwan juga menyoroti bahwa fungsi kawasan hutan tidak hanya sebagai destinasi wisata, tetapi juga sebagai wilayah konservasi, penyimpan cadangan air, pengendali iklim, serta pelindung keanekaragaman hayati. Kerusakan sekecil apa pun bisa berdampak sistemik dalam jangka panjang.
“Sekali kita kehilangan satu ekosistem hutan, maka kita kehilangan rantai kehidupan yang kompleks. Fungsi ekologis kawasan itu bisa lumpuh. Itulah mengapa wisata alam harus dilakukan dengan tanggung jawab, bukan sembarangan,” katanya.
Sebagai bentuk kontribusi nyata, Jenggala mengadakan patroli mandiri bersama warga sekitar dan aktif melaporkan kegiatan yang mencurigakan kepada pihak pengelola taman hutan rakyat (Tahura) dan Dinas Kehutanan setempat. Marwan pun mengajak komunitas lain untuk melakukan hal serupa dan menjadikan aktivitas penjelajahan sebagai sarana pendidikan konservasi.
Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mengawasi dan membina aktivitas wisata di hutan. “Kami berharap ada sinergi antara komunitas, pengelola kawasan hutan, dan pemerintah. Edukasi saja tidak cukup. Harus ada pengawasan yang tegas dan pemberian sanksi bagi pelanggar, sebagaimana diatur dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tutupnya.
Undang-undang tersebut mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perusakan terhadap lingkungan hidup dapat dikenakan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar.
Dengan meningkatnya kesadaran hukum dan etika lingkungan di kalangan penjelajah alam, diharapkan kawasan hutan Indonesia tetap lestari dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang tanpa kehilangan fungsi ekologisnya. (AA)