
Pangandaran,Medialibas.com – Polemik keberadaan Keramba Jaring Apung (KJA) di kawasan Pantai Timur Pangandaran, Jawa Barat, kembali memanas. Para pelaku usaha wisata menegaskan penolakan mereka dan mendesak agar KJA segera dipindahkan ke lokasi lain yang tidak berbenturan dengan kepentingan konservasi maupun pariwisata.
Sebelumnya, sempat beredar klaim bahwa masyarakat telah memberikan persetujuan atas keberadaan KJA. Namun, pernyataan itu langsung dibantah keras oleh para pelaku wisata. Menurut mereka, tidak pernah ada diskusi, sosialisasi, atau undangan musyawarah yang melibatkan pelaku wisata di kawasan Pantai Timur.
Penolakan Tanpa Kompromi
Agus Gendon, salah seorang tokoh pelaku usaha wisata Pantai Timur, menyebut bahwa pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam proses kesepakatan apapun. Ia menegaskan, meskipun ada sebagian kelompok masyarakat yang menyetujui, para pelaku wisata akan tetap menolak dengan tegas.
“Kami semua dengan tegas menolak kesepakatan yang mereka buat. Kami tidak diberi tahu, tidak diundang, bahkan tidak diajak diskusi. Jadi kalaupun ada yang setuju, itu tidak mewakili kami,” tegas Agus, Minggu (24/8/2025).
Agus meminta agar KJA yang sudah dipasang di Pantai Timur segera dipindahkan. Ia menilai keberadaan keramba tersebut berpotensi merusak tatanan aktivitas wisata, mengganggu nelayan tradisional, serta menodai kawasan konservasi yang selama ini dijaga.
“Dengan adanya KJA ini, aktivitas watersport, nelayan jaring arad, dan kegiatan wisata akan terganggu. Jika tidak segera ada realisasi pemindahan, kami akan bergerak lebih keras lagi dengan jumlah massa yang lebih banyak,” ancamnya.
Kekhawatiran Luasan KJA Akan Bertambah
Penolakan juga ditujukan terhadap wacana pemasangan KJA dengan luasan 2.000 meter persegi yang disebut sudah disepakati. Menurut Agus, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Justru dikhawatirkan membuka celah baru bagi keluarnya izin tambahan yang akan semakin memperluas area KJA di Pantai Timur.
“Kalau 2.000 meter persegi diizinkan, tidak akan menyelesaikan masalah. Bisa saja nanti mereka terus menambah izin baru. Akhirnya Pantai Timur penuh dengan keramba, dan pariwisata kita hancur,” ujarnya dengan nada khawatir.
Wisata Sunrise Terancam
Selain soal aktivitas ekonomi, pelaku wisata lain, Pupung, menyoroti aspek estetika dan daya tarik wisata Pantai Timur Pangandaran. Menurutnya, kawasan ini menjadi salah satu magnet utama wisatawan karena panorama matahari terbit (sunrise) yang indah. Kehadiran KJA, kata dia, jelas akan merusak keindahan tersebut.
“Pantai Timur ini istimewa karena sunrise-nya. Jangan sampai wisatawan yang ingin melihat keindahan matahari terbit malah terhalang oleh keramba. Kalau itu terjadi, daya tarik Pangandaran bisa berkurang drastis,” ungkap Pupung.
Pupung menegaskan, dirinya tidak menolak investasi. Namun, ia meminta investor dan pemerintah daerah bijak dalam menempatkan lokasi usaha agar tidak merusak zona pariwisata dan konservasi.
“Kami dukung investasi, tapi jangan asal taruh. Zona konservasi dan pariwisata sudah jelas tidak bisa digunakan untuk kepentingan pribadi. Aturannya ada, tinggal ditegakkan,” tegasnya.
Regulasi dan Desakan Kepada Pemerintah
Menurut para pelaku wisata, regulasi terkait zonasi kawasan konservasi dan pariwisata sebenarnya sudah jelas diatur dalam undang-undang. Sayangnya, pelaksanaan di lapangan kerap kali tidak sejalan dengan aturan. Mereka menduga adanya kelalaian dalam penerbitan izin sehingga KJA bisa masuk ke Pantai Timur Pangandaran.
Desakan pun dialamatkan kepada pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan stakeholder lain untuk segera bertindak. Para pelaku wisata meminta kejelasan lokasi pemindahan KJA agar polemik ini tidak berlarut-larut dan tidak merugikan pihak manapun.
“Kalau memang mau pasang KJA, silakan cari lokasi yang sesuai dengan zonasi. Jangan di Pantai Timur. Ini kawasan wisata, kawasan konservasi, bukan untuk kepentingan pribadi,” tutup Agus.
Ancaman Kerugian Besar Jika Dibiarkan
Polemik KJA di Pantai Timur bukan hanya soal benturan kepentingan, tetapi juga soal masa depan Pangandaran sebagai destinasi wisata unggulan Jawa Barat.
Jika keberadaan KJA terus dibiarkan, para pelaku wisata khawatir jumlah kunjungan wisatawan akan menurun drastis, berdampak pada ekonomi lokal yang selama ini menggantungkan hidup dari sektor pariwisata.
Dengan semakin kerasnya penolakan, bola kini berada di tangan pemerintah daerah dan pihak terkait. Apakah mereka akan mendengarkan suara pelaku wisata, atau justru membiarkan konflik ini terus membesar? (Nova Safitri)