
Sumedang,Medialibas.com – Di balik tantangan dunia pertanian Indonesia yang kian kompleks, muncul kisah inspiratif dari pelosok Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Seorang pemuda bernama Wahyu membuktikan bahwa bertani tidak harus memiliki lahan luas, modal besar, atau dukungan dari pemerintah.
Sementara dermodal tekad dan kreativitas, ia menjadikan pekarangan rumahnya sebagai ladang hidroponik yang kini menghasilkan hingga 40 kilogram sayuran segar setiap hari.
Dari Keterbatasan Lahan ke Inovasi Hidroponik
Wahyu bukanlah lulusan pertanian atau bagian dari kelompok tani besar. Ia adalah petani milenial otodidak yang memulai langkahnya dari nol. Ketika pemuda seusianya memilih merantau atau bekerja kantoran, Wahyu justru melihat potensi besar dalam pertanian meski tanpa lahan dan fasilitas memadai.
“Saya tidak punya lahan produktif untuk bertani, jadi saya manfaatkan apa yang ada. Hidroponik jawabannya,” kata Wahyu saat ditemui di kebunnya, Rabu (06/08/2025).
Ketidakmampuannya mengakses lahan pertanian konvensional tidak membuatnya menyerah. Ia memilih sistem hidroponik metode menanam tanpa tanah dengan memanfaatkan nutrisi dalam air yang terbukti efisien dan cocok untuk lahan sempit seperti pekarangan rumah.
Belajar Otodidak dari Internet
Wahyu memulai langkahnya bukan dengan pelatihan formal atau bantuan lembaga, tetapi belajar secara mandiri dari internet dan YouTube. Dengan ketekunan dan keberanian mencoba, ia mulai dari metode sederhana yaitu sistem Wick. Setelah beberapa waktu, ia beralih ke metode NFT (Nutrient Film Technique) yang lebih cocok untuk produksi skala usaha.
“Saya mulai dari sistem Wick, itu metode paling sederhana. Setelah yakin dan belajar terus, saya upgrade ke NFT. Hasilnya lebih optimal,” jelasnya.
Ia juga beradaptasi dengan kondisi geografis dan iklim setempat, hingga menemukan formula nutrisi yang sesuai dan sistem sirkulasi air yang stabil. Tak hanya itu, ia juga membuat sebagian peralatan hidroponiknya sendiri demi menekan biaya.
Produksi Konsisten, Omzet Puluhan Juta
Kini, Wahyu mengelola dua kebun hidroponik yang tersebar di sekitar rumahnya. Dari sana, ia mampu memanen antara 20 hingga 40 kilogram sayuran segar setiap hari, terutama pakcoy dan selada yang paling banyak diminati konsumen.
Dengan harga pasar rata-rata Rp 10.000 per kilogram, dalam sehari Wahyu bisa meraih pendapatan kotor sekitar Rp 400.000. Dalam sebulan, omzetnya bisa mencapai Rp 12 juta, angka yang tergolong tinggi untuk usaha pertanian rumahan.
Namun menurutnya, keuntungan itu tidak datang secara instan. Ia harus membangun sistem dari nol, mengatur sendiri perawatan tanaman, hingga menangani pemasaran.
“Awalnya saya jual di media sosial, ke teman-teman. Sekarang alhamdulillah sudah ada mitra tetap,” ujar Wahyu.
Tantangan Modal dan Ketergantungan Listrik
Di balik capaian tersebut, Wahyu menghadapi banyak tantangan, terutama modal awal. Sistem hidroponik membutuhkan instalasi pipa, pompa, nutrisi, netpot, dan listrik—yang semuanya memerlukan biaya.
“Banyak orang kira tinggal pasang dan panen. Padahal, biaya instalasi dan perawatan tidak murah. Pompa air harus nyala 24 jam, artinya listrik juga harus stabil,” ungkapnya.
Ia bahkan pernah mengalami kegagalan panen hanya karena listrik padam selama empat jam saat masa kritis menjelang panen.
“Semua tanaman rusak. Rugi besar karena air tidak bersirkulasi dan akar membusuk,” kenangnya.
Minim Perhatian Pemerintah
Yang lebih disayangkan, selama lebih dari lima tahun berjuang membangun usaha ini, Wahyu belum pernah menerima bantuan, pelatihan, atau pendampingan dari pemerintah, baik tingkat desa, kabupaten, maupun provinsi.
Ia mengaku tak anti terhadap kelompok tani, namun berharap ada pemerataan perhatian, terutama kepada individu yang konsisten dan terbukti mampu bertahan di sektor pertanian.
“Kalau memang ada satu petani muda milenial yang bisa bertahan dan punya semangat, bantu dorong sampai berhasil. Jangan hanya fokus ke kelompok saja. Banyak juga yang kerja keras sendiri tapi tidak dilirik,” tegas Wahyu.
Ia berharap pemerintah mulai membuka mata terhadap potensi petani individu yang berjalan mandiri. Menurutnya, justru dari orang-orang seperti inilah muncul inovasi yang lahir dari keterbatasan.
Harapan ke Depan: Ekspansi dan Kolaborasi
Ke depan, Wahyu bercita-cita ingin memperluas kebun hidroponiknya, membuka pelatihan gratis bagi pemuda di desanya, dan menjalin kolaborasi dengan restoran atau toko swalayan untuk memperluas pasar.
Namun untuk itu, ia memerlukan dukungan, baik berupa akses permodalan, pelatihan teknis lanjutan, hingga dukungan infrastruktur seperti listrik dan air bersih.
Wahyu adalah cerminan nyata dari generasi muda yang siap membawa pertanian ke arah yang lebih modern dan berkelanjutan. Kisahnya menjadi bukti bahwa petani milenial bukan sekadar slogan, melainkan potensi nyata yang layak mendapat perhatian lebih dari semua pihak terutama pemerintah.
“Saya percaya pertanian itu masa depan. Tapi harus ada yang bantu jalan dulu. Kalau terus dibiarkan sendiri, banyak yang akhirnya berhenti di tengah jalan,” pungkasnya. (Dini)