
Garut,Medialibas.com – Penutupan rumah doa umat Kristen di Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Jawa Barat kembali membuka luka lama tentang rapuhnya perlindungan kebebasan beribadah di tingkat daerah. Meski konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinan, realita di lapangan kerap berlawanan.
Kasus ini mencuat setelah unggahan di media sosial menyebutkan bahwa Penginjil Dani Nataniel dan jemaatnya di Rumah Doa Imanuel Caringin dipaksa menghentikan kegiatan ibadah pada 2 Agustus 2024.
Forkopimcam, bersama MUI setempat dan perwakilan gereja, menandatangani surat kesepakatan yang berujung pada penghentian seluruh aktivitas ibadah.
Langkah tersebut menuai kontroversi karena dianggap menyalahi prinsip dasar konstitusi. Kebebasan beragama seolah menjadi tergantung pada kesepakatan administratif, bukan jaminan hukum yang jelas.
Kemenag Turun Tangan
Staf Khusus Menteri Agama, Gugun Gumilar, yang langsung turun ke Caringin, menegaskan bahwa Kemenag tidak akan membiarkan hak beribadah umat beragama dirampas begitu saja. Ia menyebut pihaknya tengah melakukan koordinasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Barat dan Kabupaten Garut untuk menyelesaikan kasus ini secara dialogis.
“Konstitusi menjamin kebebasan beragama dan beribadah tanpa diskriminasi. Tugas Kemenag adalah memastikan itu berjalan di semua daerah, termasuk Garut,” ujar Gugun, Sabtu (16/08/2025).
Namun, sekadar koordinasi dan mediasi dianggap tidak cukup. Gugun mengakui, persoalan ini mengakar pada lemahnya regulasi tentang pendirian rumah doa yang seringkali menimbulkan tafsir berbeda antara pemerintah daerah, masyarakat, hingga aparat keamanan.
Regulasi Lemah, Konflik Berulang
Sejak lama, aturan pendirian rumah ibadah menjadi perdebatan. Persyaratan administratif yang kerap sulit dipenuhi membuat jemaat minoritas seringkali menghadapi hambatan. Kondisi ini diperparah oleh tekanan sosial dan politisasi agama di tingkat lokal.
“Kasus di Garut hanyalah satu contoh. Persoalan serupa berulang di berbagai daerah, dan penyebab utamanya adalah regulasi yang tidak jelas, bahkan cenderung diskriminatif dalam praktiknya,” ujar seorang pemerhati kebebasan beragama di Garut.
Kemenag berjanji akan merumuskan aturan lebih tegas dan terperinci agar rumah doa tidak lagi jadi objek tarik-ulur kepentingan. Gugun menyebut regulasi baru harus mampu memberikan kepastian hukum sekaligus menjadi instrumen pencegahan konflik.
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Meski Kemenag mengambil peran penting, Gugun menegaskan pemerintah daerah memiliki kewajiban strategis dalam menjaga kerukunan. Penutupan rumah doa, apalagi secara paksa, dinilai sebagai bentuk kegagalan dalam mengelola keragaman masyarakat.
“Kerukunan adalah modal bangsa. Setiap konflik harus diselesaikan dengan dialog, bukan dengan pembatasan hak ibadah,” tegasnya.
Perlu Mekanisme Deteksi Dini
Ke depan, Kemenag menyatakan akan memperkuat sistem deteksi dini di daerah agar potensi konflik keagamaan bisa diantisipasi sejak awal. Tanpa langkah preventif yang kuat, kasus-kasus serupa berpotensi terus berulang.
Polemik di Caringin seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk membuktikan komitmen pada konstitusi. Jika tidak, kebebasan beribadah akan selalu berada di persimpangan antara aturan, tekanan sosial, dan kepentingan politik lokal. (DK)