
Garut,Medialibas.com – Waktu itu angin malam dari lereng Gunung Cikuray berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan padi yang mulai menguning. Bulan purnama menggantung sempurna di langit, memandikan Kampung Bareto, Desa Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan cahaya keemasan.
Di tengah suasana yang begitu tenang, suara gamelan dan kecapi mulai terdengar, memanggil warga untuk berkumpul. Inilah malam Nyawang Bulan tradisi yang menghidupkan kembali kisah leluhur di bawah cahaya purnama.
Ratusan warga, tua dan muda, mengenakan pakaian adat Sunda. Obor-obor dipasang di pinggir jalan, membentuk lorong cahaya menuju lapangan terbuka. Aroma dupa tercium lembut, berpadu dengan dinginnya udara pegunungan.
Di sinilah Dewan Adat Kabupaten Garut (DAKG) bersama tokoh kasepuhan menggelar kembali sebuah tradisi yang sarat makna spiritual, filosofi, dan kebersamaan.
Makna Nyawang Bulan
Ketua DAKG, Dr. (HC) Cepi Kusma, S.Pd., menjelaskan bahwa Nyawang Bulan memiliki akar sejarah panjang di masyarakat Sunda. Tradisi ini dilakukan setiap purnama, yang diyakini sebagai momen ketika energi alam semesta memancarkan kekuatan positif bagi kehidupan manusia.
“Ini bagian dari ngarawat ngaruwat warisan leluhur, sekaligus mendukung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,” ujarnya.
Cepi menegaskan, kegiatan ini akan dijadikan agenda rutin setiap bulan purnama. Ia juga tengah mempersiapkan langkah untuk mengusulkan Nyawang Bulan sebagai warisan budaya tak benda kepada pemerintah.
Presiden Asep Sedunia Ikut Menyatu
Presiden Paguyuban Asep Sedunia, Asep Jaelani, hadir sejak sore. Ia tampak berbaur dengan warga tanpa protokol ketat, duduk lesehan bersama tokoh adat dan masyarakat. Bagi Asep, Nyawang Bulan adalah ruang komunal yang mempersatukan berbagai lapisan masyarakat tanpa memandang status atau latar belakang.
“Dengan Nyawang Bulan, hati dan pikiran menjadi bersih. Kita bisa berkolaborasi, berinovasi, dan yang paling penting semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT,” ucapnya penuh keyakina saat diwawancarai Medialibas. Selasa, (12/08/2025).
Di sisi lain, Asep berharap acara ini terus berlanjut, melibatkan lebih banyak generasi muda, dan menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk melaksanakan tradisi serupa.
Suasana Malam Purnama
Dikatakan Asep, saat gelaran acara tersebut yang di selenggarakan beberapa hari lalu, itu sangatlah berkesan. Disaat matahari mulai tenggelam, warga mulai menyalakan obor dan lilin di sekeliling area. Aroma dupa tercium lembut, mengiringi lantunan doa yang dipimpin oleh tokoh adat.
Sementara,Anak-anak duduk bersila di pangkuan orang tua mereka, mendengarkan cerita-cerita tentang leluhur yang dahulu mengajarkan harmoni antara manusia dan alam.
Sesekali, terdengar suara kecapi yang mengalun, menyelip di antara doa dan tembang. Bulan purnama yang bulat sempurna seakan menjadi saksi atas ikrar bersama untuk menjaga dan melestarikan tradisi ini.
Janji Menghidupkan Kembali Warisan
Di penghujung acara, para tokoh adat dan masyarakat sepakat untuk menjadikan Nyawang Bulan bukan hanya sebagai perayaan sesaat, tetapi sebagai gerakan budaya berkelanjutan.
Mereka berkomitmen melibatkan generasi muda, mendokumentasikan prosesi, dan mempromosikannya agar dikenal luas.
Malam itu, di Cisurupan, purnama tak hanya bersinar di langit. Ia juga menyala di hati setiap orang yang hadir menerangi tekad untuk menghidupkan kembali warisan leluhur yang nyaris terlupakan. (A1)