
Garut,Medialibas.com – Baru saja melewati angka psikologis 100 hari kerja, para kepala daerah berlomba-lomba menampilkan survei tingkat kepuasan publik. Tapi publik mulai sadar: ini bukan tentang kinerja, ini soal penggiringan opini berjubah ilmiah,(02/06/2025).
Dalam rentetan rilis yang muncul hampir bersamaan, survei-survei yang mengklaim “mayoritas publik puas”, “tingkat kepercayaan meningkat”, hingga “elektabilitas naik signifikan”, hadir tanpa disertai bukti empiris yang akurat. Tak ada data konkret soal realisasi program, capaian target pembangunan, atau dampak langsung terhadap masyarakat.
Eggi erlangga melontarkan “Ini bukan survei, ini kosmetik politik,” ujar salah satu pengamat politik dari universitas ternama. “Ketika tak ada pencapaian nyata, maka pencitraan jadi jalan pintas.”
Tanda-Tanda Kepala Daerah Tak Siap Dievaluasi
Di balik euforia angka survei, publik semakin curiga: apakah ini cara licik menutup kegagalan? Banyak kepala daerah yang belum bisa menunjukkan transparansi anggaran, efektivitas program, atau penyelesaian masalah-masalah mendesak di daerahnya. Namun, mereka justru sibuk mengutip survei yang diragukan kredibilitasnya.
“Pemimpin yang benar-benar bekerja tak butuh tepuk tangan dari survei pesanan,” kata aktivis antikorupsi. “Mereka akan bicara lewat data yang bisa diverifikasi: pembangunan, pelayanan publik, penyelesaian konflik sosial, dan keberpihakan pada rakyat kecil.”
Rakyat Tak Butuh Gimik, Butuh Bukti
Publik semakin kritis. Mereka tak lagi mudah percaya pada hasil survei yang muncul tiba-tiba, apalagi tanpa metode yang transparan dan dapat diuji. Kini, rakyat menuntut bukti kinerja yang nyata: bukan sekadar angka tingkat kepuasan, tapi perubahan konkret yang bisa mereka rasakan.
Karena pada akhirnya, pemimpin yang kuat tak akan sembunyi di balik angka survei. Mereka akan berdiri di hadapan publik, membawa data yang jujur, laporan yang terbuka, dan hasil kerja yang bicara sendiri.(AA)