
Kota Bandung. Medialibas.com – Penangkapan 11 warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur pada 16 Mei 2025 kembali menelanjangi wajah konflik abadi: pertarungan antara masyarakat adat yang menjaga tanah leluhur dan kekuatan modal yang dikawal negara atas nama pembangunan. Di manakah keadilan berpihak, ketika yang menjaga hutan dituduh melawan hukum?
Luka yang Tak Pernah Kering di Timur Nusantara
Di Halmahera, antara debur ombak dan desau angin hutan, sejarah mencatat luka yang terus diulang. Sejak penangkapan dua warga adat Togutil Bokum dan Nuhu pada 1 Mei 2015 hingga penangkapan sebelas warga Maba Sangaji sepuluh tahun kemudian, narasinya sama: tanah adat direnggut, penghuninya dipinggirkan.
Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar sumber daya, melainkan identitas. Namun di mata penguasa dan pemodal, tanah ulayat hanya sekumpulan angka dalam laporan investasi. Dengan alasan kemajuan, masyarakat adat seringkali dianggap sebagai hambatan yang harus disingkirkan.
Tambang: Komoditas yang Mengorbankan Kemanusiaan
Hutan bagi masyarakat adat adalah rumah, ruang hidup, dan saksi sejarah budaya. Tetapi dalam dokumen izin usaha pertambangan (IUP), hutan adalah angka-angka yang menggiurkan. Data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan, hingga 2023 terdapat 8.500 IUP di Indonesia, sebagian besar tumpang tindih dengan wilayah adat.
Ketika tambang hadir, ia datang dengan wajah penakluk: menggusur manusia, menghancurkan ruang hidup, dan menghapus ingatan kolektif. Konflik seperti ini semakin tajam karena proses eksploitasi sering kali dilakukan tanpa Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) masyarakat lokal.
Kritik Dibungkam, Alam Digusur
Penolakan tambang adalah hak warga yang dijamin undang-undang. Namun, hak itu kerap dibalas dengan intimidasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan. Penangkapan 11 warga adat Maba Sangaji adalah bukti nyata bagaimana negara memihak kekuatan kapital, bukan rakyatnya.
Seperti yang diungkapkan Michel Foucault, kekuasaan modern mengontrol bukan hanya tindakan, tetapi juga narasi. Ketika masyarakat adat Maba Sangaji berbicara untuk tanah leluhur mereka, suara mereka dianggap “subversif” karena mengancam wacana pembangunan yang dikendalikan elite kekuasaan.
Seni dan Budaya dalam Perlawanan
Menurut seniman Heri Dono, seni adalah bentuk perlawanan yang tidak memerlukan kata-kata. Tubuh warga adat Maba Sangaji adalah karya seni hidup—melalui doa, ritual, dan keberanian mereka berdiri untuk mempertahankan hak.
Prof. Melani Budianta menegaskan bahwa perampasan tanah adat juga berarti perampasan sistem pengetahuan dan budaya. Ketika hutan hilang, makna dari Tifa, Salawaku, dan Suling ikut lenyap. Menuduh masyarakat adat sebagai kriminal sama artinya dengan membunuh warisan budaya mereka.
“Menghapus budaya lokal berarti memutus cara masyarakat memahami dunia dan menyatakan dirinya,” ujar Melani.
Paradoks Negara dan Kehidupan Adat
Dalam retorika resmi, negara mengklaim menghargai keberagaman dan demokrasi. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Ketika masyarakat adat menjaga hutan, mereka dianggap ancaman. Ketika tambang menghancurkan lingkungan, ia justru dilindungi.
Ironi ini menyakitkan. Halmahera, yang dalam bahasa Ternate berarti “induk peristiwa,” kini terluka oleh kebijakan yang mengabaikan rakyat. Luka ini bukan hanya milik Halmahera, tetapi refleksi dari rusaknya moralitas kebijakan di seluruh negeri.
Peringatan untuk Kita Semua
Krisis iklim global semakin nyata, dan mereka yang menjaga hutan adalah penyelamat bumi. Namun, alih-alih didukung, masyarakat adat seperti Maba Sangaji justru dibungkam dan dikriminalisasi.
Penangkapan ini bukan sekadar tragedi lokal. Ini adalah peringatan bagi kita semua: jika mereka yang menjaga bumi dihukum, siapa lagi yang akan melindungi masa depan kita?
Halmahera adalah induk peristiwa, tanah kehidupan. Dalam setiap perlawanan warga adat, ada pesan yang jelas: perjuangan mereka adalah tentang eksistensi manusia itu sendiri.*
Oleh: Fahdi Hasan, S.Tr.Sn., M.Sn, Seniman, Pendidik, dan Pengkaji Seni Budaya Asal Halmahera.