
Garut,Medialibas.com – Aroma tidak sedap kembali tercium dari lingkup birokrasi Pemerintah Kabupaten Garut. Kali ini, sorotan tajam datang dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penggunaan anggaran di tingkat kecamatan.
Tidak main-main, BPK menemukan bahwa sebanyak Rp2,1 miliar dana publik harus dikembalikan ke kas negara oleh 13 kecamatan di Garut. Temuan tersebut menjadi tamparan keras bagi sistem pengelolaan anggaran di tingkat pemerintahan paling dekat dengan masyarakat.
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas anggaran tahun 2024, dari 42 kecamatan di Kabupaten Garut, 13 di antaranya terindikasi melakukan penyimpangan atau ketidaksesuaian penggunaan anggaran yang mengharuskan adanya pengembalian.
Hingga berita ini diturunkan, baru empat kecamatan yang memenuhi kewajiban pengembalian dana, sementara sembilan lainnya belum menunjukkan langkah konkret.
DPRD: Uang Negara Harus Kembali, Siapa Salah, Dia Bayar
Ketua DPRD Garut, Aris Munandar, menanggapi temuan ini dengan serius. Ia menyatakan bahwa temuan BPK bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh, apalagi diabaikan. Pengembalian dana adalah kewajiban mutlak, bukan sekadar pilihan.
“Kita sudah bahas temuan BPK bahwa memang itu wajib dikembalikan,” kata Aris, saat diwawancarai Medialibas.com
Aris menegaskan bahwa DPRD akan terus memantau dan menindaklanjuti proses pengembalian dana tersebut. Ia menegaskan tidak akan ada toleransi terhadap penyimpangan yang bersumber dari kelalaian atau penyalahgunaan wewenang.
Lebih jauh, Aris menjelaskan bahwa tanggung jawab pengembalian dana ini tidak bersifat kolektif, melainkan personal, berdasarkan siapa yang menandatangani dan bertanggung jawab atas kegiatan anggaran yang diperiksa.
“Siapa yang bertanggung jawab, itu yang harus mengembalikan. Bukan ditanggung ‘babarengan’,” ujar Aris dengan nada tegas, Rabu (06/08/2025).
Pernyataan itu menyiratkan bahwa penyelidikan internal di masing-masing kecamatan harus dilakukan untuk mengidentifikasi siapa individu yang bertanggung jawab langsung atas anggaran bermasalah. Jika seorang staf bertanggung jawab atas kegiatan, maka staf itulah yang harus mengembalikan. Namun jika seluruh kegiatan ada di bawah wewenang camat, maka camat bersangkutan tidak bisa lepas tangan.
Sekda Garut: Wajib Diselesaikan dalam 60 Hari
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Garut, Nurdin Yana, membenarkan bahwa temuan ini merupakan hasil audit dari BPK dan menjadi perhatian utama pemerintah daerah. Ia menyatakan bahwa sejak hasil audit dikeluarkan, seluruh kecamatan yang terkena temuan diberi waktu 60 hari untuk menyelesaikan pengembalian dana.
“Ini harus selesai, karena ini temuan. BPK memberikan waktu, dan kami wajib menindaklanjuti,” ujar Nurdin.
Namun, ia tidak merinci kecamatan mana saja yang sudah melakukan pengembalian, hanya menyebut bahwa proses monitoring dan koordinasi dengan para camat terus dilakukan.
Diketahui bahwa BPK telah menetapkan batas waktu hingga 20 Agustus 2025 untuk seluruh proses pengembalian. Jika batas tersebut terlewati, bukan hanya reputasi kecamatan yang tercoreng, tetapi juga akan ada sanksi administratif atau bahkan pidana, tergantung tingkat kesalahan dan kerugian negara yang ditimbulkan.
13 Kecamatan yang Terseret, Siapa Berikutnya?
Berikut ini adalah daftar 13 kecamatan di Kabupaten Garut yang harus mengembalikan dana ke kas negara sesuai hasil audit BPK:
Kecamatan Banjarwangi
Kecamatan Caringin
Kecamatan Cigedug
Kecamatan Cikelet
Kecamatan Cisewu
Kecamatan Cilawu
Kecamatan Cisurupan
Kecamatan Limbangan
Kecamatan Karangpawitan
Kecamatan Peundeuy
Kecamatan Singajaya
Kecamatan Pameungpeuk
Kecamatan Leles
Hingga berita ini dimuat, sumber internal di lingkungan Pemkab Garut menyebutkan bahwa kecamatan yang sudah melakukan pengembalian sebagian atau seluruh dana antara lain Kecamatan Cisurupan, Karangpawitan, Cikelet, dan Singajaya. Namun tidak ada konfirmasi resmi dari BPK maupun DPRD soal daftar kecamatan yang sudah lunas.
Masyarakat Menuntut Transparansi
Di tengah sorotan publik terhadap transparansi keuangan, masyarakat kini menaruh perhatian besar terhadap kasus ini. Sejumlah aktivis antikorupsi dan tokoh masyarakat meminta Pemkab Garut untuk tidak sekadar menindak administratif, tetapi juga mengumumkan secara terbuka siapa saja yang bertanggung jawab.
“Kami mendukung upaya DPRD dan BPK, tapi jangan hanya berhenti di pengembalian uang. Harus ada pertanggungjawaban moral dan hukum,” ujar Dedi Supriatna, aktivis pemerhati anggaran publik Garut.
Ia juga menegaskan bahwa temuan ini bisa menjadi pintu masuk untuk pembenahan sistem pengawasan anggaran di tingkat kecamatan, yang selama ini cenderung minim kontrol.
Kesimpulan: Deadline Semakin Dekat, Siapa yang Akan Patuh?
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel di semua tingkatan pemerintahan, termasuk kecamatan. Waktu terus berjalan, dan tenggat waktu dari BPK tinggal dua pekan lagi. Jika tidak segera ada tindakan nyata, bukan tidak mungkin kasus ini akan berujung pada proses hukum yang lebih serius.
Dengan tekanan dari DPRD, pengawasan dari masyarakat, serta ancaman sanksi dari BPK, kini bola panas berada di tangan para camat dan pejabat kecamatan. Publik pun kini menunggu siapa yang akan patuh, dan siapa yang memilih bermain api? (A1)