
(Oleh: Deni Pemerhati Lingkungan Hidup)
Garut Opini,Medialibas.com – Kita hidup di tengah zaman ketika pembangunan kota berjalan dengan kecepatan luar biasa. Gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan, jalan raya, dan kawasan industri terus bermunculan.
Namun, di balik gemerlap itu, ada sesuatu yang hilang: ruang untuk bernapas. Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang seharusnya menjadi paru-paru kota, perlahan terpinggirkan. Dan lebih parah lagi, fungsi ekologisnya kerap dianggap remeh.
Di sinilah pentingnya Ruang Terbuka Hijau Keanekaragaman Hayati (RTH KeHati). Ia bukan sekadar taman dengan pohon rindang, melainkan benteng alami yang menjaga tata air, udara, dan kehidupan di tengah gempuran urbanisasi. Sayangnya, kesadaran tentang hal ini masih minim, baik di kalangan masyarakat maupun pengambil kebijakan.
RTH KeHati: Mesin Alami Pengelola Air
Jika kita bicara tentang air, maka RTH KeHati memiliki peran yang tak bisa digantikan teknologi sekalipun. Akar-akar pepohonan berfungsi menyerap air hujan, lalu menyalurkannya ke dalam tanah. Proses ini bukan hanya mencegah banjir, tetapi juga menjaga cadangan air bawah tanah yang semakin hari semakin terancam.
Di sisi lain, tanaman dan vegetasi di RTH berfungsi sebagai filter biologis yang menyaring polutan, limbah cair, dan zat berbahaya. Artinya, air yang masuk ke tanah melalui kawasan hijau ini jauh lebih bersih dibanding air yang meresap lewat jalan beraspal atau permukaan beton.
Tanpa RTH, air hujan hanya akan menjadi air limpasan yang memperbesar risiko banjir dan sekaligus mengikis kualitas lingkungan perkotaan.
Teladan yang Patut Ditiru
Kisah ini patut menjadi contoh. Daerah yang dulunya memiliki Hutan Kota, kini mengubahnya menjadi RTH Keanekaragaman Hayati (RTH KeHati) dengan fungsi lebih luas. Tidak hanya sekadar ruang hijau, tetapi juga pusat konservasi, pelestarian, bahkan produksi bibit tanaman.
Lebih jauh, sistem pengelolaan air di RTH KeHati Karawang dirancang agar efektif. Dengan begitu, kawasan ini bukan hanya menjadi tempat rekreasi, melainkan juga instrumen nyata dalam menjaga ekosistem perkotaan.
Pertanyaannya: mengapa langkah seperti ini masih jarang dilakukan di daerah lain? Apakah karena keterbatasan anggaran, atau karena kesadaran pemerintah daerah yang belum terbangun?
Ancaman Hilangnya RTH di Kota-Kota Besar
Realitas yang kita hadapi sungguh ironis. Sementara kita membutuhkan lebih banyak RTH, justru yang terjadi adalah penyusutan. Lahan yang seharusnya dipertahankan sebagai ruang resapan air, malah berubah fungsi menjadi perumahan, pusat industri, atau gedung komersial.
Data dari berbagai kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau masih jauh di bawah ketentuan minimal 30% dari luas wilayah kota. Bahkan, di beberapa kota besar, angka ini tidak sampai setengahnya.
Tidak heran jika banjir, kekeringan, dan polusi semakin menjadi masalah tahunan. Semua itu bukan semata karena cuaca ekstrem atau perubahan iklim, tetapi juga akibat dari ketidakmampuan kita menjaga ruang hijau.
RTH Bukan Beban, Tapi Investasi Jangka Panjang
Sering kali RTH dipandang sebagai “beban pembangunan” karena dianggap tidak memberikan keuntungan finansial langsung. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, RTH adalah investasi jangka panjang.
Keberadaannya mampu mengurangi biaya penanganan banjir, menekan kerugian akibat kekeringan, serta memperbaiki kualitas udara dan air. Dengan kata lain, setiap pohon yang ditanam di RTH sebenarnya menyelamatkan biaya miliaran rupiah di masa depan.
Sayangnya, pola pikir jangka pendek masih menguasai banyak pihak. Lahan hijau yang luas sering kali dianggap lebih menguntungkan jika dijadikan kawasan komersial, bukan kawasan konservasi.
Perubahan Cara Pandang yang Mendesak
Opini ini ingin menegaskan satu hal: kita tidak bisa lagi memandang RTH hanya sebagai pelengkap kota. RTH KeHati harus menjadi prioritas dalam perencanaan tata ruang perkotaan.
Masyarakat harus sadar bahwa menjaga ruang terbuka hijau bukan hanya tugas pemerintah. Kesadaran kolektif perlu dibangun, mulai dari menjaga taman lingkungan, menolak alih fungsi lahan hijau, hingga ikut menanam pohon.
Pemerintah daerah pun harus berani melawan arus kepentingan jangka pendek. Regulasi tentang RTH tidak cukup hanya ditulis, tetapi harus ditegakkan. Pengembang yang merampas lahan hijau tanpa kompensasi ekologis seharusnya diberi sanksi tegas.
Menjaga Masa Depan Melalui RTH KeHati
Pada akhirnya, berbicara tentang RTH Keanekaragaman Hayati adalah berbicara tentang masa depan. Apakah generasi mendatang masih bisa menikmati air bersih? Apakah kota-kota kita masih bisa bernafas lega di tengah perubahan iklim yang semakin ekstrem?
Jawaban dari semua pertanyaan itu terletak pada sejauh mana kita mampu mempertahankan dan memperluas ruang hijau hari ini. RTH KeHati adalah benteng pertahanan yang bekerja dalam diam. Jika kita abai, maka bencana ekologis akan datang lebih cepat dari yang kita bayangkan.
RTH Keanekaragaman Hayati bukan sekadar tempat rekreasi, bukan pula hiasan kota. Ia adalah penjaga air dan kehidupan yang bekerja senyap tetapi nyata. Saatnya pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan berhenti memandang RTH sebagai beban.
Menjaga RTH berarti menjaga masa depan. Sebaliknya, meremehkannya berarti menggali lubang krisis ekologis yang akan menelan kita semua.