
Garut,Medialibas.com – Laju pembangunan di kota-kota besar Indonesia memang memukau. Gedung-gedung tinggi, kawasan perbelanjaan, dan perumahan padat bermunculan di setiap sudut, mencerminkan pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang pesat. Namun, di balik wajah modern ini, ada masalah serius yang jarang disorot:
penyusutan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin mengkhawatirkan.
Pemerhati lingkungan, Asep, menegaskan bahwa fenomena ini bukan sekadar soal estetika kota.
“RTH adalah paru-paru kota. Tanpa ruang hijau yang cukup, kualitas lingkungan akan menurun drastis, dan warga akan menanggung akibatnya,” ujarnya. Jum’at, (15/08/2025).
Dampak Kekurangan RTH Mulai Terasa
Berdasarkan pengamatan di berbagai kota, kekurangan RTH telah memicu sejumlah permasalahan nyata:
Polusi Udara Meningkat
Tanaman di RTH mampu menyerap polutan berbahaya seperti karbon dioksida (CO₂), nitrogen dioksida (NO₂), sulfur dioksida (SO₂), hingga partikel debu mikro (PM2.5). Tanpa vegetasi memadai, polusi udara menumpuk, memicu peningkatan kasus penyakit pernapasan seperti asma, bronkitis, bahkan kanker paru-paru.
Efek Pulau Panas Kota (Urban Heat Island)
Permukaan keras seperti aspal dan beton menyimpan panas lebih lama, membuat suhu kota bisa 2–5°C lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya. “Kalau siang terik, panasnya terasa membakar, dan malam pun hawa panasnya masih terasa. Ini dampak nyata hilangnya RTH,” kata Asep.
Banjir Semakin Sering dan Parah
RTH berfungsi layaknya spons alami yang menyerap air hujan. Saat ruang hijau berkurang, air hujan langsung mengalir ke jalan dan saluran, menyebabkan banjir mendadak, genangan, dan erosi tanah.
Penurunan Kualitas Hidup Warga
RTH bukan hanya area hijau, tetapi juga menjadi ruang untuk olahraga, interaksi sosial, dan relaksasi. Minimnya RTH membuat warga kehilangan tempat untuk beraktivitas sehat, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan fisik dan mental.
Kehilangan Habitat dan Biodiversitas Kota
Flora dan fauna lokal kehilangan tempat hidupnya. Banyak jenis burung, serangga, dan tanaman khas kota terancam punah karena habitatnya tergerus pembangunan.
Aturan Sudah Jelas, Pelaksanaan Masih Lemah
Kewajiban penyediaan RTH sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan minimal 30% luas kota menjadi RTH, dengan RTH publik sedikitnya 20%. Hal ini dipertegas melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun, banyak kota besar di Indonesia belum memenuhi target tersebut. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung masih jauh di bawah angka ideal.
“Regulasi itu jelas, tapi implementasinya lemah. Pengembang kadang mengorbankan RTH demi keuntungan komersial, dan pemerintah daerah tidak cukup tegas menegakkan aturan,” tegas Asep.
Solusi: Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat
Asep menilai penyediaan RTH tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah. Masyarakat pun memiliki peran penting. Pemerintah daerah harus memasukkan pengembangan RTH dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), menindak tegas pelanggaran aturan, dan mengalokasikan lahan strategis untuk taman kota, hutan kota, serta jalur hijau.
Sementara itu, masyarakat dapat berkontribusi melalui inisiatif seperti taman lingkungan, kebun vertikal, rooftop garden, dan menjaga pohon-pohon yang ada.
“Menambah RTH bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Kalau kita terus mengorbankan ruang hijau demi beton dan aspal, kita sedang menabung bencana untuk masa depan,” tutup Asep. (AA)