
Bandung Barat,Medilibas.com – Lintasan Sesar Lembang kembali mengirim sinyal bahaya. Dalam sepekan terakhir, wilayah Cekungan Bandung diguncang tiga kali gempa kecil yang semuanya bersumber dari jalur sesar tersebut. Meskipun magnitudo yang tercatat relatif rendah, rentetan aktivitas seismik ini dipandang para ahli sebagai tanda yang tidak boleh diabaikan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat gempa pertama terjadi di Desa Pasirlangu, Cisarua, pada 14 Agustus 2025, dengan magnitudo 1,8.
Sementara, lima hari kemudian, tepatnya 19 Agustus, giliran Desa Bojongkoneng, Ngamprah, diguncang gempa magnitudo 2,3. Rangkaian tersebut ditutup dengan gempa magnitudo 1,7 di kawasan perkebunan Cimanggu, Ngamprah, pada 23 Agustus. Tidak ada laporan kerusakan, tetapi getarannya sempat dirasakan warga di sekitar pusat gempa.
Potensi Gempa Besar Mengintai
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai perulangan gempa kecil ini erat kaitannya dengan pergerakan Sesar Lembang. Patahan sepanjang 29 kilometer itu membentang dari Padalarang hingga Jatinangor dan secara geologi menyimpan energi yang mampu memicu gempa besar dengan magnitudo 6,5 hingga 7.
Sejarah mencatat gempa besar terakhir dari jalur ini terjadi sekitar abad ke-15 atau hampir 500 tahun lalu. Kajian BRIN menyebut siklus gempa Sesar Lembang berkisar 170–670 tahun. Dengan hitungan tersebut, potensi terulangnya gempa besar semakin dekat, meskipun kapan waktunya tidak bisa diprediksi.
“Rangkaian gempa kecil bisa dianggap sebagai pelepasan energi bertahap. Itu lebih baik dibanding akumulasi yang berujung pada gempa besar mendadak. Namun, tetap saja, kewaspadaan adalah kunci,” ujar seorang peneliti BRIN.
Minimnya Early Warning System
Meski ancaman nyata, upaya mitigasi di Kabupaten Bandung Barat masih jauh dari kata ideal. Hingga kini, pemerintah daerah belum memiliki sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS) yang mampu mendeteksi getaran secara mandiri. Seluruh pemantauan masih bertumpu pada alat BMKG dan BRIN.
Padahal, data BPBD Bandung Barat menyebut sedikitnya ada 20 desa di empat kecamatan Lembang, Ngamprah, Cisarua, dan Parongpong yang berada di zona merah rawan gempa akibat aktivitas sesar ini. Ribuan jiwa yang bermukim di kawasan tersebut berada dalam bayang-bayang risiko tinggi.
Kepala BPBD Bandung Barat mengakui kebutuhan mendesak pengadaan EWS di wilayah rawan. Estimasi anggaran yang diperlukan mencapai Rp4,5–Rp5 miliar, namun hingga kini dana tersebut belum terakomodasi dalam APBD. Pemkab Bandung Barat sudah mengajukan bantuan ke Pemprov Jawa Barat, tetapi prosesnya masih berjalan tanpa kepastian realisasi.
Antisipasi dan Mitigasi
Meski terbentur anggaran, pemerintah daerah tidak tinggal diam. Sosialisasi mitigasi terus digencarkan, terutama di sekolah-sekolah dan desa-desa rawan gempa. Warga diedukasi untuk mengenali jalur evakuasi, berlatih penyelamatan diri, serta memahami pentingnya disiplin menghadapi potensi bencana.
Selain itu, pendataan rumah-rumah yang berdiri tepat di atas jalur sesar juga sedang dilakukan. Hasil pendataan ini akan menjadi dasar kebijakan mitigasi, termasuk kemungkinan relokasi warga jika risiko dinilai terlalu besar. Meski sulit, langkah ini dipandang penting untuk mengurangi potensi kerugian ketika gempa besar benar-benar terjadi.
Para pakar dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) juga menekankan pentingnya pengetahuan praktis di tingkat masyarakat. Hal-hal sederhana seperti tidak mudah terpancing isu, mengenali titik aman, serta latihan rutin evakuasi, dinilai mampu menyelamatkan banyak nyawa.
Koordinasi Regional
Kesiapan menghadapi ancaman gempa Sesar Lembang tidak hanya tanggung jawab Bandung Barat. Potensi dampak gempa besar bisa meluas hingga Kota Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung. Karena itu, komunikasi lintas daerah kini diperkuat. Pemerintah di kawasan Bandung Raya intens berkoordinasi setiap hari memantau aktivitas sesar.
“Gempa tidak mengenal batas administratif. Dampaknya bisa terasa di seluruh Cekungan Bandung. Karena itu, koordinasi antarwilayah mutlak dilakukan,” ungkap pejabat BPBD Bandung Barat.
Alarm Serius bagi Bandung Raya
Keterbatasan anggaran, lambannya pengadaan teknologi, dan rendahnya kesadaran masyarakat menjadi tantangan terbesar dalam mitigasi. Padahal, gempa adalah fenomena alam yang tak bisa dihindari. Satu-satunya cara untuk mengurangi dampak adalah kesiapan bersama, mulai dari pemerintah hingga masyarakat di level paling bawah.
Rentetan gempa kecil sepekan terakhir menjadi alarm serius. Bandung Raya hidup di atas ancaman nyata. Tanpa langkah antisipatif yang matang, bencana besar bisa datang kapan saja dan menelan korban dalam jumlah besar. Namun, dengan kesiapsiagaan kolektif, dampak terburuk masih bisa ditekan. (Achmad Syafei)