
Garut, Medialibas.com, – Sungai Cimanuk kembali meluap. Bukan sekadar limpahan air—ini adalah teriakan alam yang selama ini diabaikan. Derasnya aliran sungai yang menghantam pemukiman, lahan pertanian, dan jalan-jalan utama bukan lagi bencana alam semata. Ini bencana buatan manusia, hasil dari kerusakan konservasi yang dibiarkan dan bahkan dilegalkan oleh kebijakan yang korup dan rakus.
Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), melalui Ketua Umumnya, Tedi Sutardi, menyatakan bahwa luapan Cimanuk adalah “tanda kehancuran sistemik” akibat pengabaian terhadap tata kelola lingkungan hidup dan pengkhianatan terhadap prinsip dasar konservasi.
“Jangan bilang ini karena hujan. Ini karena penggundulan hutan di hulu, alih fungsi lahan sembarangan di tengah, dan kerakusan pembangunan di hilir. Ini kehancuran berantai akibat keserakahan dan kebodohan yang terus dilanggengkan,” ujar Tedi dengan nada keras.(28/6/ 2025)
Pemerintah Garut Harus Bertanggung Jawab!
LIBAS menuding Pemerintah Kabupaten Garut lalai dalam menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal ini:
- Pasal 69 melarang perusakan kawasan lindung, namun pembabatan hutan terus berlangsung di hulu Cimanuk.
- Pasal 63 menegaskan peran pemerintah daerah dalam menjaga keseimbangan ekologis, namun kenyataan di lapangan berkata sebaliknya.
- Pasal 112 dan 114 memberi ruang penindakan pidana bagi pejabat yang lalai, dan seharusnya ini sudah saatnya diterapkan!
Peringatan Keras untuk Masyarakat Bantaran Sungai: Hulu, Tengah, dan Hilir
Tedi Sutardi juga memberikan pesan keras kepada masyarakat di sepanjang bantaran Sungai Cimanuk:
1. Warga di Hulu (misal: Bayongbong, Samarang, Cikajang):
“Berhentilah menebang pohon seenaknya. Jangan jadikan kebun sayur sebagai alasan membabat hutan. Air yang kalian abaikan hari ini akan menghantam saudara kalian di hilir esok hari.”
2. Warga di Tengah (misal: Tarogong Kaler, Kota Garut):
“Periksa kembali drainase rumah dan fasilitas publik. Jangan buang sampah sembarangan. Jangan tutupi saluran air dengan beton demi parkir dan gengsi. Sungai bukan tempat sampah!”
3. Warga di Hilir (misal: Kadungora, Leles, Limbangan):
“Segera bersiap hadapi gelombang air dari atas. Bersihkan bantaran sungai, buat jalur evakuasi, dan dorong pemerintah setempat membuat tanggul dan sabuk hijau. Jangan tunggu sampai air datang merenggut anak-anak kalian!”
Saatnya Bangkit, atau Tenggelam Bersama
Cimanuk tidak hanya mengalirkan air. Ia membawa sejarah, kehidupan, dan kini… ancaman. Jika masyarakat dan pemerintah masih berpura-pura tidak tahu, maka bencana berikutnya tinggal menunggu waktu. LIBAS menyerukan:
- Audit semua izin pemanfaatan kawasan hulu Cimanuk
- Moratorium pembangunan di daerah rawan bencana
- Pemulihan hutan dan reboisasi wajib di atas 1.000 Ha/tahun
- Pembentukan Satgas Rakyat Sungai Cimanuk
“Kalau hari ini kita biarkan, maka bukan cuma banjir yang datang. Tapi juga kematian, kemiskinan, dan kehancuran masa depan Garut,” pungkas Tedi. (AA)