
Garut,Medialibas.com – Persoalan tata ruang di Kabupaten Garut, Jawa Barat, kembali mencuat ke permukaan. Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, menilai pengelolaan ruang di Garut bukan sekadar persoalan teknis birokrasi, melainkan sudah mengarah pada praktik penyalahgunaan wewenang yang berpotensi masuk ke ranah pidana.
Menurut Tedi, berbagai kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kerap mengorbankan hak-hak masyarakat kecil menjadi bukti nyata adanya dugaan pelanggaran serius. Ia menegaskan, tata ruang seharusnya menjadi instrumen untuk melindungi kepentingan publik dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup, bukan malah dijadikan alat untuk melayani kepentingan kelompok atau individu tertentu.
“Ketika tata ruang disalahgunakan demi kepentingan pribadi atau kelompok, itu bukan lagi sekadar kesalahan administratif. Itu sudah bisa dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan dan penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pidana,” tegasnya. Kamis,(11/09/2025).
Indikasi Kejahatan Terstruktur
Tedi menilai, pola pengabaian aturan tata ruang di Garut terlihat sistematis. Dari maraknya pembangunan di kawasan yang jelas-jelas rawan bencana, hingga alih fungsi lahan produktif yang mengancam ketahanan pangan, semua itu menunjukkan adanya praktik yang patut diduga melanggar hukum.
“Ini bukan soal ketidaktahuan, tapi soal keberpihakan. Kalau pemerintah menutup mata terhadap aturan tata ruang demi kepentingan investor tertentu, itu sudah masuk kategori terstruktur dan sistematis. Dugaan kejahatan lingkungan harus diselidiki aparat penegak hukum,” ujarnya.
Penyalahgunaan Wewenang
LIBAS menilai, penyalahgunaan wewenang dalam tata ruang Garut bukan hal yang sepele. Ia menyebut ada indikasi kuat bahwa sejumlah kebijakan lahir karena tekanan politik maupun ekonomi dari pihak tertentu. Akibatnya, rakyat kecil menjadi korban, terutama masyarakat yang tinggal di kawasan bantaran sungai, perbukitan rawan longsor, maupun petani yang kehilangan lahan produktifnya.
“Penyalahgunaan wewenang ini jelas ada konsekuensi pidananya. Aparat penegak hukum tidak boleh tutup mata. Kalau dibiarkan, Garut bukan hanya menghadapi krisis lingkungan, tapi juga krisis keadilan,” kata Tedi.
Dorong Aparat Bertindak
Lebih jauh, LIBAS mendesak aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga pengawas internal pemerintah, untuk tidak tinggal diam. Menurut Tedi, dugaan kejahatan tata ruang yang berimplikasi pada kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat kecil harus diusut tuntas.
“Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan segelintir orang. Penegakan hukum harus dilakukan agar tata ruang kembali berpihak pada rakyat, bukan pada kapital besar yang merusak tatanan,” ujarnya menegaskan.
Ancaman Nyata bagi Generasi Mendatang
LIBAS juga mengingatkan bahwa salah kelola tata ruang akan menimbulkan efek jangka panjang yang mengancam generasi mendatang. Banjir, longsor, krisis air, hingga hilangnya ruang hidup masyarakat adat dan petani kecil hanyalah sebagian dari dampak buruk yang sudah mulai dirasakan.
“Kalau tata ruang terus dipermainkan, maka anak cucu kita akan menanggung kerusakan yang tidak bisa lagi dipulihkan. Inilah mengapa kami sebut ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi kejahatan lingkungan yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana,” pungkas Tedi. (A1)