
Oplus_0
Garut,Medialibas.com – Di tengah derasnya arus pembangunan infrastruktur yang terus digencarkan Pemerintah Kabupaten Garut, suara-suara dari masyarakat sipil yang menyoroti kondisi sosial ekonomi warga kecil semakin nyaring terdengar.
Salah satunya datang dari Tedi Karyadi, aktivis sosial dari Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS) dan juga Koordinator Wilayah Jayaraga, yang mendesak pemerintah daerah agar tidak abai terhadap persoalan kemiskinan yang terus membelit sebagian besar masyarakat Garut.
Dalam wawancara khusus, Tedi menyampaikan bahwa peningkatan angka kemiskinan di Garut bukanlah fenomena baru, namun cenderung memburuk akibat lemahnya intervensi program strategis dari pemerintah. Ia menilai, meskipun berbagai regulasi telah ada, pelaksanaan di lapangan belum mencerminkan komitmen kuat dalam menanggulangi kemiskinan secara menyeluruh.
“Kita punya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Itu jelas menyebut bahwa pemerintah wajib hadir dalam memastikan jaminan sosial, pelayanan dasar, dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat miskin. Tapi realitanya, banyak warga yang masih kesulitan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan,” ujar Tedi. Kamis, (12/06/2025).
Ia menilai, ketimpangan sosial di Garut makin mencolok di tengah geliat pembangunan infrastruktur fisik yang terus digembor-gemborkan. Jalan-jalan beton dibangun, proyek-proyek fisik ditampilkan sebagai prestasi, tetapi angka pengangguran terbuka dan pendapatan riil masyarakat tidak menunjukkan perbaikan signifikan.
“Kita tidak anti pembangunan. Tapi kalau hanya sibuk membangun gedung, jalan, dan tugu, sementara perut rakyat lapar, ini jelas tanda ada yang keliru dalam menyusun prioritas,” tegasnya.
Lebih jauh, Tedi juga menyoroti lemahnya pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM). Regulasi ini mengharuskan pemerintah daerah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan lingkungan hidup. Namun menurutnya, di banyak kecamatan di Garut, standar tersebut masih jauh dari ideal.
“Ada sekolah rusak, anak-anak belajar tanpa fasilitas memadai. Ada warga yang sulit berobat karena keterbatasan biaya dan akses. Ini kenyataan yang tidak bisa dipoles,” katanya lagi.
Dalam pandangannya, kemiskinan bukan hanya problem ekonomi, tapi juga persoalan martabat manusia. Karena itu, ia mendesak Pemkab Garut untuk menata ulang arah kebijakan anggaran, agar benar-benar berpihak pada rakyat kecil.
“Kalau kita lihat APBD Garut tiap tahun, porsi belanja langsung untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin sangat kecil dibandingkan belanja infrastruktur atau operasional birokrasi. Padahal ini soal keberpihakan. Kemiskinan tidak akan selesai jika pendekatannya hanya tambal sulam atau seremonial belaka,” ujarnya.
Selain kepada pemerintah, Tedi juga menyerukan agar seluruh elemen masyarakat mulai dari organisasi masyarakat sipil, akademisi, tokoh agama, hingga komunitas pemuda – ikut aktif dalam pengawasan anggaran dan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Ia meyakini, perubahan hanya akan terjadi jika tekanan dari bawah konsisten dan terorganisir.
“Kita harus bangun kesadaran kolektif. Jangan biarkan rakyat miskin menjadi objek belas kasihan tanpa solusi struktural. Mereka punya hak, dan negara wajib menjamin hak-hak itu,” tegasnya.
Tedi menutup pernyataannya dengan harapan agar Pemerintah Kabupaten Garut di bawah kepemimpinan saat ini mampu mengambil langkah strategis dan berkelanjutan, bukan sekadar respons musiman. Ia menyebut bahwa tantangan ke depan semakin berat, terutama dengan kondisi ekonomi global yang masih tidak stabil dan ancaman krisis pangan serta energi yang bisa memperparah keadaan.
“Kalau tidak ditangani serius, kemiskinan bisa menjadi bom waktu. Bukan hanya menciptakan ketimpangan, tapi juga potensi konflik sosial. Ini harus menjadi peringatan bagi kita semua,” pungkasnya. (AA)