
Garut, medialibas.com – Aktivis lingkungan dari perkumpulan lingkungan anak bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, melontarkan kritik keras terhadap lemahnya respons aparat penegak hukum dalam menangani berbagai laporan masyarakat, khususnya terkait pelanggaran lingkungan dan hak-hak warga. Ia menegaskan bahwa tindakan pembiaran terhadap pelaporan masyarakat bukan hanya bentuk kelalaian institusional, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap konstitusi negara dan nilai-nilai dasar Pancasila.
“Setiap laporan masyarakat adalah jeritan keadilan yang harus ditindaklanjuti. Ketika aparat hukum memilih untuk diam atau acuh, mereka secara langsung telah mencederai semangat UUD 1945 dan menodai sila kedua dan kelima Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegas Tedi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Ketika Laporan Diabaikan: Retaknya Pilar Keadilan
Menurut Tedi, pembiaran terhadap laporan masyarakat—terutama yang berkaitan dengan perusakan lingkungan, perampasan lahan, atau intimidasi terhadap masyarakat adat—telah menjadi pola yang mengkhawatirkan. Ia menyebut bahwa dalam banyak kasus, pelaku kejahatan lingkungan justru terlindungi oleh jejaring kekuasaan dan modal, sementara warga yang melapor malah dikriminalisasi atau diintimidasi.
“Ini berbahaya. Ketika hukum tidak lagi berpihak pada korban, dan sebaliknya melindungi pelaku karena kekuasaan atau uang, maka negara telah gagal menjalankan amanat Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum,” ujar Tedi.
Dampak Sistemik dan Krisis Kepercayaan
Tedi memaparkan bahwa konsekuensi dari pembiaran ini bukan hanya pada korban secara langsung, tapi berdampak luas bagi stabilitas sosial dan legitimasi negara. Ia merinci tiga dampak utama:
- Kehilangan Kepercayaan Publik:
“Jika aparat tak menggubris laporan warga, masyarakat akan berhenti percaya pada sistem. Mereka bisa mengambil tindakan sendiri. Ini benih anarki.” - Tumbuhnya Ketidakadilan Struktural:
Ketika laporan diabaikan, korban tidak mendapatkan perlindungan atau pemulihan hak, sementara pelaku merasa tak tersentuh hukum. “Ini adalah bentuk ketidakadilan yang berlapis, yang mengancam keutuhan sosial,” kata Tedi. - Kerusakan Citra Penegak Hukum:
“Penegak hukum tidak akan lagi dihormati. Masyarakat akan memandang mereka sebagai alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan,” tambahnya.
Landasan Hukum: Kewajiban Aparat Menindaklanjuti Laporan
Dalam pandangan hukum, tindakan aparat yang mengabaikan laporan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban administratif dan etik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa setiap laporan masyarakat wajib diproses sesuai mekanisme yang berlaku.
“Bahkan dalam Pasal 28D UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Maka, mengabaikan laporan adalah pengkhianatan terhadap konstitusi itu sendiri,” tegas Tedi.
Menyerukan Aksi Serius dan Reformasi Hukum
Di akhir pernyataannya, Tedi menyerukan perlunya reformasi mendalam terhadap kultur birokrasi penegakan hukum dan pembentukan sistem pelaporan publik yang transparan dan akuntabel.
“Kita butuh sistem yang melindungi pelapor, bukan malah membuat mereka takut. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, negara kita sedang dalam krisis nilai,” ujarnya.
Sebagai aktivis yang telah lebih dari satu dekade bergerak di isu lingkungan dan keadilan sosial, Tedi menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya soal lingkungan hidup, tapi soal kelangsungan demokrasi dan keadaban hukum di Indonesia. (AA)