
Oplus_0
Garut,Medialibas.com – Di tengah situasi politik dan pemerintahan Kabupaten Garut yang dinamis, ruang-ruang partisipasi rakyat kembali menggeliat melalui gerakan Panggung Rakyat Mimbar Bebas.Gerakan ini mencuat sebagai bentuk kritik terbuka terhadap capaian pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati Garut selama 100 hari pertama mereka menjabat.
Namun, alih-alih mendapat apresiasi sebagai bagian dari demokrasi yang sehat, muncul narasi-narasi menyudutkan yang menyebut gerakan ini ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Salah satu yang paling vokal menanggapi tudingan tersebut adalah Tedi Sutardi, aktivis lingkungan yang juga dikenal sebagai Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS) Garut. Dalam pernyataan tegasnya, Tedi membantah keras anggapan bahwa gerakan Panggung Rakyat ditunggangi oleh partai politik atau elit kekuasaan.
“Kami tidak sedang menjalankan agenda politik siapa pun. Kami bergerak bersama rakyat. Suara kami murni lahir dari kegelisahan masyarakat akar rumput, bukan hasil rekayasa elite, bukan titipan kekuasaan, dan sama sekali bukan pencitraan,” tegas Tedi dalam wawancara eksklusif usai aksi damai di depan Kantor DPRD Garut, Selasa (10/06/2025).
Tedi mengungkapkan bahwa aksi Panggung Rakyat Mimbar Bebas yang kini mulai digelar di berbagai titik di Kabupaten Garut adalah hasil konsolidasi dari 26 LSM yang tergabung dalam satu aliansi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang perjuangan, mulai dari lingkungan, sosial, hingga pendidikan dan hak-hak masyarakat adat.
“Gerakan ini lahir dari nurani. Rakyat sudah cukup bersabar. Kami bukan orang-orang yang muncul tiba-tiba, melainkan yang selama ini memang aktif dalam advokasi dan pengawalan kebijakan publik,” jelasnya.
Menurut Tedi, salah satu latar belakang lahirnya Mimbar Bebas ini adalah ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang dinilai belum menyentuh kebutuhan dasar rakyat kecil.
Mulai dari masalah ketimpangan pembangunan, transparansi anggaran, hingga lemahnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat sipil.
“Dalam 100 hari ini, kami belum melihat komitmen nyata untuk melibatkan rakyat dalam proses pembangunan. Banyak program terkesan hanya formalitas tanpa menyentuh akar permasalahan. Yang kami perjuangkan adalah partisipasi rakyat yang otentik, bukan sekadar pelengkap seremonial,” paparnya.
Tedi juga menyayangkan pernyataan sejumlah tokoh senior, seperti Ateng Sujana alias Wa Ateng, yang menyiratkan bahwa gerakan rakyat ini hanyalah alat politik. Menurutnya, narasi seperti itu tidak hanya menyesatkan, tetapi juga merusak semangat kebebasan berekspresi dalam demokrasi.
“Kami hormat kepada para senior, tetapi jangan hanya karena kami berbeda sikap lantas disebut ditunggangi. Itu justru pembunuhan karakter yang tidak sehat dan bisa memecah persatuan gerakan rakyat,” tegas Tedi.
Lebih jauh, Tedi mengingatkan bahwa kritik adalah bagian penting dari demokrasi. Pemerintah yang sehat bukanlah yang hanya menerima pujian, tetapi juga yang mampu mendengar suara rakyat, meskipun itu keras dan tidak menyenangkan.
“Kami tidak sedang melawan pemerintah. Kami sedang menyelamatkan pemerintahan dari potensi kesalahan yang bisa merugikan rakyat. Jika semua orang hanya diam, maka siapa yang akan menjadi penjaga arah pembangunan?” ujarnya penuh semangat.
Ia juga menegaskan bahwa gerakan ini tidak akan berhenti hanya pada aksi simbolik. Dalam waktu dekat, aliansi masyarakat ini akan menyusun dokumen evaluasi 100 hari kinerja Bupati dan Wakil Bupati, yang akan diserahkan secara resmi kepada DPRD dan pemerintah daerah.
“Kami akan dorong diskusi terbuka, tidak hanya orasi jalanan. Kami ingin menjadi mitra kritis, bukan lawan politik. Tapi jika kritik dianggap sebagai serangan, maka demokrasi kita sedang dalam bahaya,” kata Tedi.
Di tengah derasnya arus informasi yang kadang membelokkan fakta, gerakan rakyat seperti Mimbar Bebas menjadi pengingat bahwa masyarakat masih peduli dan tidak mau dibungkam oleh tekanan atau stigma.
“Kami tidak punya kepentingan selain kebenaran. Jika hari ini rakyat takut bicara, maka besok tidak akan ada yang tersisa dari cita-cita reformasi,” pungkasnya.
Gerakan ini diyakini akan terus meluas, bukan hanya sebagai bentuk koreksi atas kinerja pemerintah daerah, tetapi juga sebagai panggilan nurani untuk membangun Garut yang lebih adil, terbuka, dan berpihak pada semua lapisan masyarakat. (A1)