
Garut,Medialibas.com – Ketegangan mulai terasa di salah satu kawasan wisata andalan di Kabupaten Garut. Masyarakat setempat, yang selama ini mendukung geliat sektor pariwisata demi mendongkrak ekonomi lokal, kini justru menyuarakan kekecewaan mereka terhadap salah satu pelaku usaha di wilayah tersebut.
Hotel dan Resto Cahaya Vila. Sorotan utama tertuju pada dua isu besar yang dinilai mencederai kepentingan publik, yakni dugaan penggunaan air tanah secara ilegal dan kebijakan ketenagakerjaan yang dianggap diskriminatif terhadap warga lokal.
Isu ini pertama kali mencuat ke permukaan setelah seorang tokoh masyarakat, Teteng, bersama sejumlah warga lainnya, angkat suara dalam pertemuan informal dengan awak media pada. Minggu, (01/06/2025).
Dalam pernyataannya,Teteng juga mengungkapkan bahwa telah terjadi aktivitas pengambilan air tanah dalam jumlah besar oleh pihak pengelola hotel dan restoran tanpa izin resmi dari pemerintah daerah maupun instansi teknis terkait.
“Kami bukan bicara asumsi. Ini berdasarkan pengamatan dan kondisi di lapangan. Beberapa sumur warga tiba-tiba mengalami penurunan debit air. Sejak operasional Cahaya Vila berjalan penuh, kami melihat ada aktivitas penyedotan air tanah secara masif, tapi kami tidak pernah mendengar ada izin resmi. Kami curiga ini ilegal,” tegas Teteng.
Menurutnya, dampak dari aktivitas tersebut mulai terasa dalam kehidupan sehari-hari warga. Di beberapa titik, air sumur mulai menyusut bahkan mengering saat musim kemarau datang lebih cepat dari biasanya. Bagi warga yang menggantungkan hidup dari pertanian dan kebutuhan rumah tangga berbasis air tanah, kondisi ini sangat mengganggu.
“Air adalah hak dasar. Kalau sumber air kami terganggu karena kepentingan bisnis yang tidak transparan dan tidak berizin, itu sudah masuk kategori penindasan terselubung,” lanjut Teteng dengan nada kecewa.
Putra Daerah Merasa Tersisih dari Kesempatan Kerja
Tak hanya berhenti pada isu lingkungan, warga juga menyampaikan keresahan lain terkait kesempatan kerja di Hotel dan Resto Cahaya Vila. Banyak dari mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak manajemen, terutama oleh bagian Human Resource Group (HRG), yang dianggap mempersulit anak-anak muda dari kampung sekitar untuk bisa bekerja di sana.
“Banyak pemuda dari daerah kami yang punya potensi, pengalaman, bahkan pendidikan yang layak. Tapi ketika melamar kerja, mereka seolah-olah tidak diberi ruang. Seperti ada sekat tak kasatmata yang menghalangi,” kata Teteng.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh beberapa warga lainnya, yang menyatakan bahwa proses rekrutmen di Cahaya Vila tidak pernah melibatkan komunikasi dengan pemerintahan setempat atau tokoh masyarakat. Bahkan, informasi lowongan kerja pun tidak pernah disebarluaskan secara terbuka di lingkungan sekitar.
“Ini sangat menyakitkan. Tempat usaha besar berdiri di tanah kami, memakai udara kami, menggunakan sumber daya alam kami, tapi ketika bicara soal tenaga kerja, kami diabaikan,” ucap seorang warga yang enggan disebut namanya.
Tuntutan Warga: Tegakkan Regulasi dan Prinsip Keadilan Sosial
Dalam tuntutannya, warga meminta pemerintah daerah, khususnya Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Garut, untuk segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pengelola Cahaya Vila. Mereka juga mendesak agar pihak-pihak terkait turun langsung ke lapangan dan membuka dialog terbuka dengan warga terdampak.
“Kami bukan ingin mematikan usaha. Kami mendukung pariwisata, kami ingin daerah kami maju. Tapi jangan sampai kemajuan itu menindas yang kecil. Harus ada keseimbangan antara bisnis dan keadilan sosial,” tegas Teteng.
Lebih lanjut, masyarakat juga meminta agar ada regulasi yang lebih tegas terhadap pelaku usaha di sektor pariwisata, terutama terkait pemanfaatan sumber daya alam dan kewajiban pemberdayaan masyarakat lokal. Mereka menekankan bahwa keuntungan ekonomi seharusnya tidak hanya dinikmati pemilik modal, tetapi juga dirasakan secara adil oleh masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan sektor tersebut.
“Pemerintah tidak boleh diam. Kalau hal seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan muncul konflik sosial yang lebih besar. Padahal semua bisa dicegah sejak awal dengan regulasi yang ditegakkan dan kepedulian yang ditumbuhkan,” tambah warga lainnya.
Manajemen Cahaya Vila Belum Memberikan Tanggapan
Hingga berita ini diturunkan, pihak manajemen Hotel dan Resto Cahaya Vila belum memberikan pernyataan resmi terkait tudingan yang dilayangkan oleh masyarakat. Awak media telah berupaya menghubungi pihak HRG Cahaya Vila melalui saluran komunikasi resmi maupun langsung ke lokasi, namun belum memperoleh tanggapan.
Warga menyatakan bahwa gerakan mereka bukan merupakan bentuk konfrontasi, melainkan panggilan untuk membela hak-hak dasar yang mulai terpinggirkan.
“Kami hanya ingin dihormati dan diberi kesempatan yang setara. Jangan biarkan kami jadi penonton di tengah kemewahan yang dibangun di atas tanah kami sendiri,” tutup Teteng. (AA)