
Oplus_131072
Garut,Medialibas.com – Polemik dugaan keterlibatan sejumlah aparatur sipil negara (ASN) di Kecamatan Cibalong, termasuk seorang Kepala Sekolah Dasar Negeri, yang disebut-sebut masuk dalam struktur pembina sebuah media lokal, kini mendapat sorotan tajam. Kasus ini dinilai berbahaya bagi independensi pers dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang serius.
Wartawan senior dari Bandung, Jawa Barat Doni Mardani, saat dimintai keterangan oleh Medialibas.com melalui sambungan Whatsapp miliknya,dia angkat bicara mengenai isu ini. Menurutnya, posisi ASN sebagai pembina media jelas melanggar prinsip dasar kebebasan pers yang diatur dalam Undang-Undang.
“Dewan Pers sudah menegaskan bahwa pejabat pemerintah, termasuk ASN, tidak boleh menjadi pembina media. Itu bukan hanya tidak etis, tetapi juga bisa menimbulkan konflik kepentingan. Bagaimana pers bisa menjalankan fungsi kontrol sosial kalau dibina oleh orang yang seharusnya dikontrol?” kata Doni, pada. Kamis, (21/08/2025).
Teguran dari Dewan Pers
Dewan Pers dalam beberapa kesempatan telah menegaskan sikapnya. Salah satunya tertuang dalam surat resmi kepada Kabag Humas Aceh Tengah saat muncul permintaan agar Bupati setempat menjadi pembina media mingguan Sketsa Publik.
Dalam surat itu, Dewan Pers menyatakan, penempatan pejabat pemerintah sebagai pembina perusahaan pers tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 3 ayat (1) menyebutkan, pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, sekaligus kontrol sosial.
Sementara Pasal 6 menekankan peran pers dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui serta melakukan pengawasan, kritik, dan koreksi terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan umum.
“Kalau prinsip ini dilanggar, pers akan kehilangan independensinya. ASN bisa menggunakan posisi sebagai pembina untuk mempengaruhi arah pemberitaan. Inilah yang dimaksud Dewan Pers dengan konflik kepentingan,” lanjut Doni.
Praktisi Hukum: Bisa Langgar Aturan ASN
Praktisi hukum Garut, Taufik Hidayat, menilai bahwa dugaan ASN menjadi pembina media bukan hanya masalah etika pers, tetapi juga bisa menyalahi aturan kepegawaian.
“ASN memiliki aturan ketat mengenai netralitas, termasuk larangan terlibat dalam kegiatan yang bisa menimbulkan keberpihakan. Duduk sebagai pembina media jelas bisa menimbulkan keberpihakan, apalagi jika media itu digunakan untuk kepentingan politik atau pribadi,” tegasnya.
Ia menambahkan, jika benar ada ASN di Cibalong yang menjadi pembina media, maka Badan Kepegawaian Daerah (BKD) harus turun tangan melakukan pemeriksaan.
Aktivis Pers: Media Harus Independen
Sementara itu, aktivis pers Garut, Toni Wiramanggala, menilai kasus ini bisa menjadi preseden buruk jika dibiarkan.
“Pers itu pilar keempat demokrasi. Kalau ASN atau pejabat ikut campur sebagai pembina media, maka fungsi pers sebagai pengawas pemerintah bisa tumpul. Media harus berdiri independen, berpihak pada kepentingan publik, bukan pejabat,” katanya.
Riki juga menegaskan, masyarakat Garut harus ikut mengawasi agar pers di daerah tetap sehat dan profesional. “Kalau media sudah diwarnai kepentingan ASN, informasi yang sampai ke publik bisa tidak objektif. Ini sangat berbahaya,” ujarnya.
Dorongan Evaluasi dan Tindakan Tegas
Kasus dugaan ASN di Cibalong yang masuk dalam struktur pembina media mendorong banyak pihak meminta adanya evaluasi menyeluruh. Bukan hanya kepada individu ASN yang terlibat, tetapi juga terhadap sistem pengawasan internal pemerintah daerah.
“Jangan sampai ASN dibiarkan bebas merangkap peran yang menimbulkan konflik kepentingan. Harus ada tindakan tegas dari BKD maupun Inspektorat. Kalau dibiarkan, ini bisa jadi kebiasaan buruk di birokrasi,” kata Doni Mardani.
Catatan Akhir
Dewan Pers memberikan batasan yang jelas. ASN masih boleh menjadi pembina media internal pemerintah yang bersifat non-komersial, misalnya buletin internal dinas atau majalah sekolah. Namun, untuk media umum yang bersifat komersial dan menyampaikan berita ke publik luas, hal ini dilarang.
Kasus di Cibalong seakan memperlihatkan masih adanya pemahaman keliru mengenai peran ASN dan batasan etis dalam dunia pers. Bila dugaan ini terbukti, maka publik berhak menuntut klarifikasi dan tindakan nyata dari instansi terkait.
“Pers harus tetap independen, tidak boleh ada intervensi. Kalau independensi hilang, yang rugi bukan hanya wartawan, tetapi seluruh masyarakat,” pungkas Doni Mardani. (Red)